Sebuah Refleksi Teori dan Praktek
Oleh Crispin da Costa Perreira
Timor Leste telah memasuki tahun ke sepuluh dalam
merancang anggaran pendapatan dan belanja negara atau biasa disebut Orcamentu
Geral Estado (OGE). Sedikit kita melihat kebelakang sekitar 4 miliar dolar
amerika uang rakyat telah digunakan oleh pemerintah dengan tujuan memakmurkan
rakyat Timor Leste, hal ini sesuai dengan tujuan daripada kebijakan fiskal. Pertanyaannya
adalah refleksi dari anggaran tersebut bisa menyelesaikan masalah rakyat atau
tidak? Pada kalangan penguasa saat ini mencoba membela diri dengan berargumen bahwa
masalah kita sangat kompleks dan tidak mungkin di selesaikan dalam waktu yang
singkat. Tetapi ada juga suatu kebohongan dari para penguasa kepada rakyat
dalam mengunakan uang rakyat, dimana hanya 20 persen uang negara itu
diinvestasikan untuk kepentingan rakyat miskin sedangkan sisa 80 persen
dikonsumsi oleh institusi negara yang dihuni oleh 5% penduduk Timor Leste.
Kemiskinan di Timor Leste
Ada sejarah yang cukup panjang tentang masalah
kemiskinan di seluruh dunia. Oleh karena itu, kita harus mencoba merubah pandangan pemerintah dan masyarakat tentang
kemiskinan bahwa, kemiskinan adalah penyakit kronis yang harus segera diobati. Artinya
penyakit tersebut perlu penangganan yang serius dan dengan metode yang
komperenhensif berkelanjutan serta komitmen yang tinggi. Jika tidak seperti itu
akan dimanfaatkan oleh para politikus sebagai komoditi politik untuk diperjual
belikan di pasar kampanye pemilu. Mereka akan memisahkan masyarakat menjadi
beberapa kelompok sosial ( kaya- miskin, desa- kota, liurai-reinu,
terdidik-tidak terdidik, organisasi massa), semua itu dengan tujuan bahwa mudah
dipolitisasi(digerakkan) untuk kepentingan mereka.
Kemiskinan telah
membatasi hak rakyat untuk (1) memperoleh pekerjaan yang
layak bagi kemanusiaan; (2) Hak rakyat untuk memperoleh perlindungan hukum; (3)
Hak rakyat untuk memperoleh rasa aman; (4) Hak rakyat untuk memperoleh akses
atas kebutuhan hidup (sandang, pangan, dan papan) yang terjangkau; (5) Hak
rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan pendidikan; (6) Hak rakyat untuk
memperoleh akses atas kebutuhan kesehatan; (7) Hak rakyat untuk memperoleh
keadilan; (8) Hak rakyat untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan
publik dan pemerintahan; (9) Hak rakyat untuk berinovasi; (10) Hak rakyat
menjalankan hubungan spiritualnya dengan Tuhan; dan (11) Hak rakyat untuk
berpartisipasi dalam menata dan mengelola pemerintahan dengan baik (Gregorius S).
Kondisi
kemiskinan di Timor Leste ada dua kategori,
pertama yaitu kemiskinan yang terjadi karena pengaruh kebijakan pembangunan
yang belum mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat sehingga menimbulkan
ketimpangan distribusi pendapatan dan kedua; kondisi miskin yang ditentukan
berdasarkan ketidakmampuan masyarakat mencukupi kebutuhan pokok mereka (sandang,
papan, dan pangan). Pendek kata,
kemiskinan merupakan persoalan yang maha kompleks dan kronis. Karena sangat
kompleks dan kronis, maka cara penanggulangan kemiskinan pun membutuhkan
analisis yang tepat, melibatkan semua komponen permasalahan, dan diperlukan
strategi penanganan yang tepat, berkelanjutan dan tidak bersifat temporer.
Sejumlah variabel dapat dipakai untuk melacak persoalan kemiskinan, dan dari
variabel ini dihasilkan serangkaian strategi dan kebijakan penanggulangan
kemiskinan yang tepat sasaran dan berkesinambungan. Dari dimensi pendidikan
misalnya, pendidikan yang rendah dipandang sebagai penyebab kemiskinan. Dari
dimensi kesehatan, rendahnya mutu kesehatan masyarakat menyebabkan terjadinya
kemiskinan. Dari dimensi ekonomi, kepemilikan alat-alat produktif yang
terbatas, penguasaan teknologi dan kurangnya keterampilan, dilihat sebagai
alasan mendasar mengapa terjadi kemiskinan. Faktor kultur dan struktural juga
kerap kali dilihat sebagai elemen penting yang menentukan tingkat kemakmuran
dan kesejahteraan masyarakat. Tidak ada yang salah dan keliru dengan pendekatan
tersebut, tetapi dibutuhkan keterpaduan antara berbagai faktor penyebab
kemiskinan yang sangat banyak dengan indikator-indikator yang jelas, sehingga
kebijakan penanggulangan kemiskinan tidak bersifat temporer, tetapi permanen
dan berkelanjutan.
Penurunan Angka Kemiskinan dan Institusi Negara yang Gemuk
Ini merupakan pertanyaan yang selalu ditunggu
oleh para pemerhati masalah masalah sosial ekonomi dan rakyat yang setiap hari
sebagai obyek dari kebijakan itu sendiri. Para politisi di pemerintahan dan
parlamen ketika membuat kebijakan anggaran tahunan, selalu menggatasnamakan
rakyat miskin sebagai sandaran keputusan. Oleh karena itu rakyat mempunyai hak
untuk mengetahui seberapa besar anggaran tersebut bisa memberi manfaat bagi
mereka. Menurut saya, secara ekonomi dampak dari kebijaksanaan anggaran selama
tiga tahun terakhir hanya untuk mengemukkan institusi pemerintah, artinya
distribusi anggaran negara hanya dinikmati oleh sekelompok orang di lingkungan
negara (parlamen, pemerintah, tribunal dan presiden). Lalu untuk orang
miskin kapan? Apakah 2012 ketika para politisi kampanye baru dibagikan? Pendapatan
per kapita kita sekarang sebesar $ 0,80 cent/hari. Dengan angka kemiskinan
hampir 70-80 persen dari penduduk Timor Leste, sementara angka pengangguran tumbuh
setiap tahunnya berkisar 15-20 persen (jika kita gunakan asumsi usia produktif
tiap tahun). Ini merupakan keadaan yang membutuhkan kebijakan yang nyata
sehingga masyarakat tidak menjadi korban ke tiga kalinya pada pemilu 2012.
Hal sederhana yang kita lihat adalah alokasi
anggaran publik, misalnya pada tahun 2008 APBN Timor Leste sebesar 788,312 juta
dolar Amerika, tetapi hanya sekitar 21% atau 166,487 juta dolar Amerika yang punya dampak
terhadap pendapatan masyarakat melalui proyek proyek, subsidi beras, rekoperasi
korban 2006, dan subsidi kepada para orang tua usia langjut(60 tahun ke atas)
sedangkan sisa anggaran sekitar 79% (621,825 juta dolar Amerika) kembali kepada
institusi pemerintah dengan alasan pemberdayaan institusi pemerintahan. Dari
21% itupun kalau asumsinya betul betul digunakan semua untuk kepetingan rakyat,
tetapi ada yang hilang di tengah jalan ya, persentasinya bisa menurun lagi. Nah
yang 79% itu menjadi pertanyaan kita bersama? Paling tidak harus ada bukti
bukti yang bisa ditunjukkan oleh pemerintah kepada publik atau masyarakat bahwa,
dana 79% kembali ke pemerintah itu hasil ini loh. Misalnya pelayanan publik
yang lebih baik, ada perubahan penggunaan fasilitas atau teknologi baru yang
membutuhkan dana besar, kualitas sistem monitoringnya meningkat, dll. Tetapi, yang publik lihat adalah fasilitas
negara digunakan untuk kepentingan pribadi contohnya mobil ESTADU dan kupon BBM
ini betul betul milik pribadi, jalan masih tambal satu minggu kemudian rusak
lagi, distribusi beras ngak beres, listrik masih itu itu juga, sistem judicial
masih jalan di tempat(daftar kasus banyak yang tidak terselesaikan), sekolah
publik banyak yang rusak, tahap produksi yang diprediksi tidak ada hasil, dan
lain lain. Artinya paling tidak,
penggunaan anggaran publik yang jumlahnya sangat besar oleh institusi negara,
harus dibuktikan dengan sebuah kinarja yang lebih baik. Tidak ada alasan yang
konkrit kecuali sebuah pelayanan dan penyelesaian masalah rakyat yang bermutu
dan berkualitas.
Namun agak aneh dua tahun berikutnya (2009 dan
2010) justru ada penurunan penggunaan anggaran negara pada tahun 2009
turun 15,8% (107,439 juta dolar) dari 680,873 juta dolar Amerika. walaupun ada
peningkatan pada anggaran pembangunan, misalnya alokasi untuk listrik negara
dan transfer untuk veteran perang, pengembangan sektor pertanian sehingga kita akumulasikan sekitar 47% atau
hampir setengah dari APBN. Sayangnya
anggaran 47% atau 318,840 juta dolar dari
APBN itu hanya mendorong pertumbuhan ekonomi Timor Leste 12% di atas
pertumbuhan ekonomi negara negara di Asia termasuk China pada tahun 2009, tetapi
sejujurnya menurut saya pertumbuhan itu tidak berkualitas dan tidak ada
indikator makro ekonomi yang jelas untuk mengukur angka tersebut. Buktinya,
lapangan kerja masih sama, hanya ada proyek proyek dengan nilai dolar kecil
yang ada di beberapa daerah. Hingga hari ini tidak ada data konkrit dari
pemerintah yang bisa menunjukkan kepada publik bahwa angka kemiskinan turun
sekian persen, lapangan kerja meningkat, pendapatan masyarakat naik sekian
persen. Namun fakta menunjukkan terbalik bahwa anggaran meningkat tetapi
kondisi riil lebih buruk misalnya infrastruktur jalan di seluruh Timor Leste
yang tidak layak namun tetap dipakai karena tidak ada alternatif.
Lantas bagaimana defisit APBN 2012 dan Utang luar
Negeri Timor Leste sebesar 69 juta dolar?
Hal yang sudah diprediksi sejak awal pada pemerintahan
AMP. Bahwa penggunaan anggaran negara yang cenderung boros akan menyebabkan
defisit anggaran di suatu ketika. Keadaan ini terbukti pada Defisit anggaran negara Timor Leste merupakan
upaya sengaja dan diciptakan oleh pemerintah. Alasan dari argumentasi ini adalah
bahwa masih ada opsi lain dari kebijakan fiskal yang bisa dilakukan oleh pemerintah
untuk menghidari utang luar negeri. Tetapi pemerintah cenderung memilih utang sebagai opsi terbaik bagi pemerintahan AMP dalam menutup anggaran defisit. Dua alasan/pilihan kebijakan yang mendasar yaitu pemerintah bisa menaikan kembali pajak terutama terhadap
barang-barang mewah Elektronik seperti TV, Mobil, Emas, Kulkukas, Radio dll. Kedua
pemerintah juga bisa melakukan penghematan anggaran; bahwa politik alokasi yang
cenderung mengemukkan institusi pemerintah dibandingkan anggaran pembangunan perlu dipangkas. Selain itu,
pengelolaan terhadap perusahaan-perusahaan negara merupan upaya alternatif
untuk menutup defisit tersebut. Jadi politik boros yang membuat para membru
governu gemuk di satu sisi, dan di lain pihak membuat rakyat jadi kurus selama
satu dekade ini. Rakyat pula yang akan menanggung beban utang yang dibuat oleh pemerintah saat ini. Nah,
Pertanyaannya adalah apakah Timor Leste akan sama seperti Indonesia dan
Argentina yang semua roda perekonomiannya banyak dipengaruhi oleh utang
luar negeri dan intervensi pihak asing?
Anggaran publik, kepentingan rakyat, dan kontrol
sosial
Masalah kemiskinan tidak dapat berdiri sendiri
atau dipisahkan dari negara sebagai payung yang melindungi rakyatnya dari
berbagai persolan. Cermin dari rasa tanggungjawab negara itu terlihat dari
seberapa besar perhatian negara untuk menyelesaikan masalah masalah rakyatnya,
konkritnya adalah bagaimana negara mengalokasikan anggaran untuk membantu
masyarakat supaya keluar dari lingkaran kemiskinan. Namun setelah sepuluh tahun berlalu, APBN kita
tidak memihak pada kepentingan rakyat sehingga distribusi pendapatan menjadi
kacau, daya beli rendah, dan lapangan kerja sulit. Ada beberapa alasan mengapa APBN
dikatakan tidak memihak pada kepentingan rakyat:
1.
Hampir 70-80% Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara di Timor Leste berputar di lingkungan elite politik yang jumlahnya hanya
5% dari populasi Timor Leste. Artinya alokasi untuk konsumsi pemerintah lebih
besar daripa anggaran pembangunan.
2.
Pemerintah hanya membuat proyek proyek kecil
untuk membuat masyarakat sibuk seketika dan setelah selesai mereka tidak bekerja lagi, biasanya
satu sampai tiga bulan dalam satu tahun. Nah bagaimana kita bisa mengukur
pendapatan mereka sehingga pertumbuhan ekonomi 12% itu bisa terbukti. Secara
ekonomi alokasi anggaran negara tidak dapat merespon indikator indikator makro
ekonomi seperti, pendapatan, peluang kerja, pengganguran, kualitas hidup,
perbaikan gizi, dan lain lain.
3.
Banyak dana negara yang seharusnya bisa digunakan
untuk memberdayakan ekonomi rakyat, misalnya melalui fasilitas modal usaha,
tetapi justru digunakan untuk jalan jalan ke distrik Bali dan Surabaya seperti
yang di sampaikan oleh presiden RDTL beberapa waktu lalu.
Masalah lain yang kita lihat adalah pertama, lemahnya kontrol parlamen terhadap
eksekutif. Banyak pelanggaran yang dilakukan oleh pemerintah dalam mengeksekusi
anggaran negara tetapi itu dibiarkan saja. Misalnya tender tender yang tidak
wajar, kualitas bangunan yang tidak sesuai dengan rencana, penyalahgunaan
kekuasaan, dan sebagainya. Parlaman sebagai penyambung lidah rakyat justru
mendukung kebijakan pemerintah dan tidak memihak kepantingan rakyat miskin,
walaupun masih ada oposisi tetapi jumlahnya tidak sebanding dengan Aliansa(AMP)
sehingga keputusan akhir tetap oposisi kalah. Sebenarnya parlamen dalam
melakukan fungsi tidak sesuai dengan mandat yang diberikan oleh Konstitusi RDTL
pasal 95 ayat 3 huruf (e) Konstitusi RDTL
tentang pengawsan terhadap pemerintah dalam mengeksekusi anggaran. Mereka
tidak lagi berbicara kepentingan rakyat miskin seperti pada waktu kampanye
pemilihan, namun yang kita lihat adalah ada upaya saling melindungi antara
eksekutif dan legislatif yang pro pemerintah.
Kedua, Lembaga lain dari parlamen
adalah lembaga swadaya masyarakat (LSM/NGO, gereja, media, dan akademisi), merupakan lembaga alternatif
pengawasan terhadap seluruh institusi negara. Namun kita kecewa dengan lembaga
lembaga ini karena tiga tahun terakhir mereka juga sebagai bagian dari
kebijakan anggaran negara dimana pemerintah telah menyediakan dana kepada NGO
NGO sehingga hal ini akan mempengaruhi sikap mereka terhadap pemerintah. Misalnya
ada sekelompok orang dari NGO mencoba mengalihkan persoalan ketika PM Xanana
membuat pernyataan Tsunami terhadap KKN, ada juga NGO yang pada zaman PM Mari
Alkateri sangat keras berbicara masalah korupsi sekarang justru berebutan
mendapatkan dana sosiadade sivil yang disediakan pemerintah. Yang lebih buruk
lagi adalah Gereja Katholik yang mempunyai umat miskin 95% di Timor Leste diam
seribu bahasa dan membiarkan umat sengsara, para imam lebih suka berbicara
kerusakan bangunan gereja daripada kerusakan moral umatnya akibat PENYAKIT
KEMISKINAN. Selain NGO dan Gereja, media
massa lebih lebih elektronik tidak lagi sebagai kontrol sosial tetapi
sebagai pelayan pemerintah. 90% dari informasi TVTL adalah didapat dari
rombongan jurnalis dengan membru governu, jika tidak ada kunjungan membru
governu ke distrik apa yang terjadi dengan TVTL? Masyarakat salah menilai TVTL
sebagai media publik, seharusnya adalah TV swasta karena siarannya dimonopli oleh
sekelompok orang yang bermerek anggota pemerintah. Pada hal banyak
fenomena/masalah yang timbul di masayarakat di daerah daerah pedesaan yang tidak
diketahui oleh publik. Akademisi adalah senjata terakhir yang masih dipercaya,
tetapi telah di boikot oleh kekuasaan dengan berbagai intimidasi dan janji
terselebung kepada para aktivis. Jadi kesimpulannya adalah sistem kontrol kita
terhadap penggunaan anggaran negara sangat lemah dan tidak ada lagi yang
dipercaya untuk mengawasi aliran anggaran tersebut.
Sebagai masyarakat, menghimbau kepada pemerintah bahwa jika rakyat sebagai
obyek dari kebijkan maka sudah sewajarnya persentasi alokasi anggaran harus
lebih banyak untuk kepentingan rakyat, bukan institusi negara yang huni oleh segelintir
orang saja. Rekomendasi saya: Pertama; untuk mengatasi penyakit
kemiskinan adalah merubah kebijaksanaan alokasi anggaran dengan mengunakan
indikator makro yang relevan sehingga hasilnya bisa terlihat, jangan hanya
mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi tidak BERKUALITAS. Kedua;
tim ekonomi pemerintah harus bekerja lebih keras, jujur, dan punya hati nurani
untuk Timor Leste sehingga dalam membuat asumsi Ekonomi mengunakan data data konkrit dan relevan
dengan kondisi di Timor Leste (menyediakan data dengan melakukan survey sebagai
dasar pertimbangan kebijakan), karena tim ekonomi termasuk orang orang yang
terlibat langsung dalam menentukan nasib rakyat miskin di Timor Leste. Ketiga;
Perlu memperbaiki mutu investasi pemerintah agar biaya penyusutannya tidak
terlalu tinggi pada tiap tahun. Keempat; Penyalahgunaan fasilitas
negara atau korupsi harus segera di proses dan ditindak agar tidak merembes.
KAK sudah harus bekerja tidak hanya diam seperti TAMBOR yang dalamnya kosong tetapi
dipukul bunyinya lantang).
Biodata:
Crispin da Costa Perreira, Adalah dosen Universitas Dili (UNDIL) dan dosen part time di beberapa perguruan tinggi di Dili, pernah menjadi staf peneliti di bidang ekonomi pada lembaga penelitian TIDS, penasehat beberapa organisasi kepemudaan di lingkungan kampus dan menulis beberapa artikel tentang keuangan publik dan Ekonomi Timor Leste. Selesai Studi Sarjana Ekonomi (S1) tahun 2003 pada bidang Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan di Universitas Janabadra Jogjakarta, dan menyelesaikan Magister Ekonomi dan Studi Pembangunan pada Universitas Sebelas Maret Surakarta tahun 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar