31 Mei 2012

Pendidikan dan Pembangunan_Artikel

PEMBANGUNAN BERKELANGJUTAN DAN PENDIDIKAN
  Generasi muda adalah masa depan Timor Leste
“Antara realitas dan Slogan para Politisi”

 
Oleh Crispin da Costa Perreira

Sadar atau tidak sampai hari kita sangat prihatin dengan apa yang terjadi di negara kita yakni perhatian negara terhadap sektor pendidikan yang sangat rendah. Pembangunan berlanjutan bukan sebuah slogan yang mudah diucapkan oleh siapa saja lebih-lebih para politisi tetapi ucapan itu bagi rakyat penuh makna, terutama rakyat miskin karena bagi mereka hanya pendidikanlah yang akan membawa sebuah perubahan bagi hidupnya, ekonomi keluarganya, lingkungan sosialnya, aldeianya, suconya, dan seterusnya dan akhirnya berdampak bagi negara. Wujud kemerdekaan harus dirasakan oleh semua lapisan masyarakat, mereka yang ada di kampung-kampung/pelosok atau daerah terisolasi seperti WAIMORI, sub distrik Fatumea dan Fatululik namun wujud tersebut kalihatannya hanya impian bagi rakyat miskin di Timor Leste karena kenyataannya negara tidak serius mengubah harapan dan impian mereka. Mereka akan terbelenggu oleh kemiskinan, pendidikan yang rendah, fasilitas kesehatan yang rendah, kurang gizi, perumahan yang tidak layak, yang lebih parah adalah MEREKA TIDAK MEMILIKI PILIHAN KARENA TIDAK MEMPUNYAI KEMAMPUAN. Kalau demikian dalam konteks kenegaraan kita, siapa yang bertangungjawab atas penderitaan mereka? Bagi saya ini adalah tangungjawab negara yang telah diamanatkan  dalam Konstitusi RDTL pasal 59 ” ayat 1. Estadu rekuinece no garante sidadaun hotu nia direitu ba edukasaun no kultura, nune’e mos hari’i sistema encino baziku universal, obrigatoriu no wainhira bele saugati, tuir lei haruka. Dan ayat 4. Estadu tenki garante ba sidadaun hotu-hotu, tuir sira nia kapacidade, atu bele hetan eskola boot kona ba investigasaun no sientifika no hamoris/haburas arte ”.
Kutipan konstitusi RDTL merupakan landasan bagi pemerintah dalam menyediakan pendidikan yang layak kepada seluruh rakyat Timor Leste dan menjamin semua generasi agar semua berpatisipasi dalam pendidikan. Tidak ada alasan bagi negara atau pemerintah untuk tidak menjalankan amanat Undang-undang Dasar tersebut, demi menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas sebagai jaminan bagi pembangunan di masa depan yang berkelangjutan. Tetapi sangat aneh, ini menjadi perjuangan rakyat maubere sekali lagi agar dapat membebaskan dirinya dari penyakit kemiskinan dan menjadi manusia yang mempunyai hak atas sebuah kedudukan didalam Republik Demokrasi Timor Leste. Sebuah impian masyarakat yang tulus, namun selalu dihalangi oleh tembok kekuasaan dan elite politik sehingga rakyat akan menjadi korban di negerinya sendiri. Apakah ini sebuah realitas? 


Tidak ada Political will pemerintah dalam membangun pendidikan sebagai basis bagi pembangunan berkelangjutan adalah fakta.....

Amanat Konstitusi sudah dirumuskan dengan sangat jelas, nah bagaimana implementasinya? Pemerintah dan Parlamen sebagai pelaksana amanat konstitusi hingga saat ini sangat tidak memihak pada kepentingan rakyat, ini jelas terwujud pada dua pendekatan: 1). Komitmen: dua lembaga negara (pemerintah dan parlamen) ini dalam membahas masalah pendidikan belum dianggap sebagai isu serius dan sentral demi pembangunan Timor Leste berkelangjutan, tidak ada penegasan yang jelas tentang konsep pembangunan pendidikan ke depan, menurut saya harus ada sebuah aturan main yang tegas dalam menjalankan amanat konstitusi tersebut atau konkritnya pemerintah dan parlamen harus membuat undang-undang yang mengatur tentang anggaran pendidikan agar tidak dipolitisir setiap tahun atau setiap pergantian pemerintahan sehingga ada kejelasan atau arah pembangunan pendidikan yang bisa diharapkan oleh masyarakat. Dibanyak negara telah memutuskan anggaran pendidikan dalam bentuk Undan-undang, misalnya Indonesia anggaran pendidikan nasional sebesar 20,2% dari Aanggaran Pemdapatan dan Belanja Negara (APBN) setiap tahunnya. Artinya siapa saja yang memerintah anggaran pendidikan akan sebesar itu dari ABPN setiap tahunnya sehingga pembahasan lebih fokus pada rencana. Lalu yang ke 2). Anggaran pendidikan perlu ditingkatkan. Untuk menindaklangjuti poin pertama harus disertai dengan anggaran yang memadai. Kenaikan anggaran pendidikan akan menjadi salah satu indikasi pemerintah dalam memperbahrui dunia pendidikan kita sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi. Dan sejauh ini, belum terlihat pada anggaran pendidikan nasional kita. Investasi untuk pendidikan publik merupakan sebuah keharusan bagi negara dalam menyediakan pendidikan yang bermutu dan murah bagi warganya karena mayoritas masih dibawah garis kemiskinan. Namun hal tersebut belum tercermin dalam anggaran negara seperti pada tabel pada OJE 2008, 2009, 2010):
Tahun
(Jutaan $)
Total APBN
(jutaan $)
%
Kontribusi
2008
51,369
788,312
7
2009
62,570
680,873
9
2010
63,986
636,859
10
2011
70,139
985,000
7
Laporan APBN yang telah diolah, untuk 2011 masih dalam pembahasan parlamen



Gambaran APBN ini merupakan sebuah fakta bagi kita bahwa negara (pemerintah dan parlamen)  tidak memeliki konsestensi dalam membangun masyarakatnya agar keluar dari kebodohan dan membiarkan kemiskinan menjadi bagian hidup. Perkembangan anggaran pendidikan diatas merupakan bukti betapa pemerintah mempermainkan masa depan anak-anak dan generasi muda sekarang dengan menurunkan anggaran menjadi 7% yang ujung-ujungnya akan menjadi alasan bagi pemerintah untuk tidak menyediakan fasilitas pendidikan yang berkualitas. Tuntutan kenaikan anggaran pendidikan merupakan hal yang wajar karena APBN 2012 miliar dolar lebih amerika sesuai dengan rancangan yang diajukan pemerintah kemungkinan bertambah karena sedang dalam pembahasan. Jika persentasi anggaran negara untuk sektor pendidikan bertambah maka akan menjadi salah bukti keseriusan pemerintah untuk membangun sektor ini, tetapi nampaknya kemungkinan itu tidak akan terjadi pada tahun ini. Atau jika anggaran tersebut tetap di pertahankan oleh para peminpin bangsa ini maka secara perlahan-lahan para pengambil kebijakasaan akan membunuh rakyatnya dan tinggal segilintir orang yang menikmati kemerdekaan ini. Dan ada kecenderungan pada massa yang datang kekuasaan di negeri ini akan menjadi exlusive atau hanya diduduki oleh golongan dan kelompok berkuasa sekarang. Mengapa? Kaum kecil yang miskin tidak memeliki pendidikan yang cukup untuk menduduki jabatan-jabatan atau anak-anak maubere hanya kuliah di dalam negeri sehingga divonis tidak berkualitas jika dibandingkan anak-anak penguasa yang ijazahnya dari luar negeri.
Generasi muda adalah masa depan bangsa
 “ antara realitas dan slogan para politisi”

Sebuah kalimat yang sangat doyang diucapkan oleh para politisi di negeri ini yang tidak terbatas pada ruang dan waktu, artinya dimana saja mereka berada ucapan tersebut menjadi hal biasa. Bagi para politisi/penguasa yang penting kepentingan dan kekuasaan mereka terjamin dan aman. Masyarakat dibius dengan kata-kata manis pada saat kampanye dengan lantang menyeriakan kepada kaum muda bahwa ” Hei anak-anak, kamu adalah generasi masa depan bangsa, atau ada yang mengatakan generasi muda adalah generasi penerus bangsa”. Lalu apa buktinya kalau penedidikan anak-anak itu cuma sekolah menengah, sedangkan kondisi sekolah dibiarkan hancur, UNTL yang merupakan perguruan tinggi favorit rakyat dibuat sangat sempit dan nyaris tanpa fasilitas yang memadai, janji menteri pendidikan untuk mengembangkan perguruan tinggi negeri menjadi sampah, peningkatan mutu pendidikan dengan model membunuh perguruan swasta, dan pendidikan Timor Leste penuh dengan polemik dan retorika. Jadi benarkah itu merupakan slogan para politisi  supaya mendorong  tujuan mereka bisa tercapai, dan setelah itu apa yang mereka lakukan kepada anak-anak dan kaum muda seperti slogan diatas? Mereka tidak mau tahu, dan sibuk membagi kekuasan dan proyek-proyek yang menghabiskan anggaran negara dengan atas nama rakyat miskin. Sehingga rakyat jadi korban ke tiga kalinya lagi ( setelah korban untuk kemerdekaan, kampanye politik, dan kebijaksanaan anggaran ).
Retorika ini terlihat sangat jelas dengan melihat bagaimana komitmen pemerintah membangun fasilitas-fasilitas pendidikan (gedung, meja dan kursi, guru-guru, laboratorium) yang tidak memadai bagi rakyat Timor Leste, kurikulum nasional yang tidak jelas, kualitas pendidikan yang dibangun bukan dari bawah tetapi dari atas artinya arkreditasi dunia pendidikan mulai dari perguruan tinggi lalu ke sekolah dasar menjadi hal yang aneh bagi wajah pendidikan kita. Para pendidik dipaksa harus berurusan dengan dialog-dialog yang diadakan oleh pemerintah akibat kabijakan yang tidak membangun sehingga menyelantarkan anak-anak sekolah, fasilitas untuk guru-guru pedesaan sangat mempritinkan tetapi dibiarkan.  Kalau keadaannya seperti ini maka apa yang terjadi dengan generasi muda dan anak-anak yang katanya merupakan penerus bangsa? Atau ini merupakan sebuah kebohongan yang dilakukan para penguasa terhadap masyarakat kecil?
Fakta menunjukkan bahwa ada unsur kesengajaan dan kepentingan dalam membangun sekolah-sekolah publik yang akan digunakan oleh masyarakat kurang mampu, hal ini terlihat dari sikap kementrian pendidikan yang kelihatan sangat arogan dalam menanggapi informasi/keluhan dan kerusakan fasilitas pendidikan yang disampaikan oleh masyarakat. Dan cenderung dibiarkan kerusakan-kerusakan itu terjadi seperti yang kita jumpai di beberapa sekolah publik di kota Dili. Ini sama dengan membunuh generasi muda secara perlahan-lahan sehingga tongkat kekuasaan tidak boleh jatuh ke tangan masyarakat miskin. Fakta lain adalah bahwa ada unsur kesengajaan dalam membangun sekolah-sekolah publik karena anak-anak pejabat (mulai dari presiden sampai direktur) tidak sekolah di sekolah-sekolah negeri termasuk UNTL sehingga tidak ada niat/usaha untuk memperbaiki infrastruktur dan fasilitas pendidikan publik. Pada hal bagi masyarakat kurang mampu sekolah publik dan UNTL adalah harapan satu-satunya bagi mereka untuk menyekolahkan anaknya. Kecenderungan ini akan secara tidak langsung berpengaruh pada kebijakan pemerintah dalam memperbaiki fasilitas-fasilitas yang sudah tidak layak lagi digunakan tetapi harus tetap dipakai karena tidak ada alternatif. Dan rakyat justru ragu atas sentimen memiliki dan rasa nasionalisme peminpin bangsa dalam membangun republik ini ke depan.


Kebijakan ME tentang UNTL dan Kepentingan Publik
Mengapa UNTL? Tulisan ini memuat kisah para orang tua di desa-desa yang memiliki impian agar anak-anaknya bisa melangjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi tetapi biayanya murah seperti UNTL. Mereka selalu membayankan perbaikan nasib keluarga, rumah mereka, makan mereka, dan pendapatan yang lebih baik lagi dari kondisi sekarang. Mereka juga sadar bahwa tanpa pendidikan tidak akan ada yang merubah nasib mereka seperti saat ini, mereka juga tidak mau kemiskinan merupakan bagian dari sisa hidup. Oleh karena itu ketika terjadi polemik status UNTL dan disertai demonstrasi mahasiswa mereka sangat kwatir terhadap  nasib anak-anak mereka ke depannya.
Pertama; Ketidakjelasan ini merupakan bukti lain dari para penguasa dalam membangun dunia pendidikan tinggi yang murah dan berkualitas bagi rakyat. Mereka sengaja mempolitisasi keberadaan UNTL sebagai universitas rakyat agar tidak berkembang, hal yang sungguh menyakitkan hati rakyat kecil. Tetapi sebenarnya ME sendiri bagian daripada keberadaan UNTL itu dan jelas milik negara, dan kalau ada yang meragukan status UNTL maka saya kira keraguan ini harus diusut tuntas baik internal UNTL dan kementrian pendidikan yang mancoba memertanyakan status UNTL (hal ini terlihat dari pembahasan AD-ART UNTL yang tidak ada ujung pangkalnya). Bukti kepemilikan sudah jelas bahwa mulai dari fasilitas, anggaran dan tenaga pengajarnya dari pemerintah kok masih mempertanyakannya, (ada apa ini?) beginikah membangun pendidikan milik rakyat?
Kedua; intervensi pemerintah dalam membatasi penerimaan mahasiswa baru dinilai tidak adil bagi rakyat dan tidak rasional, serta terkesan ada kepentingan-kepentingan lain yang berhubungan dengan investasi swasta dalam dunia pendidikan di Timor Leste. Ketidakadilan tersebut merujuk pada lulusan sekolah menengah setiap tahun berkisar 15 ribu sampai 17 ribu, namun yang tertampung di UNTL hanya 2 ribu/11% saja. Sisanya sekitar 1000 (5%) diperkirakan ditampung di perguruan tinggi swasta termasuk yang kuliah ke luar negeri, da sisa 14 ribu (84%) akan menjadi pengangguran. Ketidakadilan lain adalah bahwa masyarakat Timor Leste mayoritas masih miskin sehingga pembatasan semacam itu akan menghambat hak kaum muda negeri ini untuk akses ke perguruan tinggi.
Dilain pihak alasan pembatasan itu tidak jelas dan masyarakat sudah dibohongi oleh mentri pendidikan yang menjanjikan pengembangan perguruan tinggi negeri di distrik Suai dan Lospalos yang tinggal janji. Oleh karena itu yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah mempersiapkan UNTL untuk menampung calon mahasiswa baru dengan kuota minimal 50% dari lulusan sekolah menengah pada setiap tahunnya.
Tidak ada Upaya lepas dari ketergantungan
Membangun dunia pendidikan baik dan berkualitas merupakan hal yang harus dipikirkan oleh para peminpin bangsa agar kedepan kita tidak lagi tergantung pada negara lain dalam penyadiaan sumber daya manusia berkualitas dan berdaya saing. Saat ini jumlah mahasiswa kita yang sedang kuliah di luar negeri terutama Indonesia sekitar 5000 lebih, jumlah ini menunjukkan kepada kita bahwa betapa buruknya pembangunan dunia pendidikan perguruan kita sehingga masyarakat memilih keluar. Ada beberapa alasan mengapa generasi muda memilih pendidikan tinggi luar: Alasan pertama; kualitas pendidikan di Timor Leste masih rendah dan fasilitasnya sangat terbatas, termasuk UNTL yang merupakan universitas publik. Alasan Kedua; Kuota yang disediakan oleh UNTL sangat sedikit sehingga memaksa para orang tua untuk melangjutkan pendidikan ke luar negeri. Aasan ketiga; biaya pendidikan tinggi swasta yang sangat mahal jika dibandingkan pendidikan tinggi di Indonesia.

Penutup

Rekomendasi:
Pertama; Untuk menyelamatkan anak-anak dan generasi muda sekarang, maka sebaiknya pemerintah dan parlamen segera dan wajib membuat undang undang tentang anggaran pendidikan sebagai bukti konkrit sehingga ada sebuah jaminan untuk pembangunan pendidikan ke depan. Hal ini sudah menjadi kewajiban yang telah diamanatkan dalam konstitusi RDTL pasal 59. Kedua; Peminpin bangsa harus membutikan pada rakyat bahwa “ Generasi muda adalah masa depan bangsa” bukan suatu slogan dan retorika, dan tunjukkan kepada rakyat di negeri ini bahwa mereka juga mempunyai kesempatan yang sama dengan para penguasa. Kekwatiran kita adalah para penguasa sekarang mempersiapkan anak-anaknya dengan menyekolahkan ke luar negeri dan setelah 3 atau 4 tahun kembali mengambil tongkat kekuasaan dari sang bapak. Indikasi itu terlihat dari PEMBATASAN PENRIMAAN MAHASISWA BARU YANG KEBANYAKAN RAKYAT KECIL untuk masuk perguruan tinggi negeri. Hal lain yang kita lihat adalah ada unsur kesengajaan dalam membangun sektor pendidikan publik yang layak dan manusiawi bagi kepentingan rakyat miskin. Ketiga; Jabatan publik yang dipangku oleh penguasa harus digunakan untuk kepentingan rakyat bukan kepentingan pribadi. Seperti pulalah melihat kondisi UNTL, jangan membuat kebijakan berdasarkan kepentingan pribadi. Legalitas UNTL tidak perlu ditanyakan lagi oleh mentri pendidikan tetapi bagaiman rasa tangjawabnya sebagai pelayan masyarakat untuk membangun generasi berikutnya. Keempat; Sudah saatnya pemerintah atau negara mulai menekan ketergantungan Timor Leste dalam penyediaan sumber daya manusia dari negara lain. Hal ini bisa berkurang dengan membangun sistem pendidikan yang berkualitas. Kelima; parlamen sebagai wakil rakyat jangan hanya berbicara kepentingan kelompok atau pribadi tetapi lihat masa depan bangsamu, jika masyarakat miskin Anda biarkan mereka bodoh sama halnya ingin mereka tetap miskin dan membunuh mereka secara perlahan-lahan. Anehnya ketika menjalan kematian rakyatmu yang miskin, kamu ( hai parlamen ) akan datang memberi pertolongan tetapi masih selalu meminta imbalan atau harta suara mereka pada pemilihan umum 2012. Adeus,,,,,Maofi Perreira.

Crispin da Costa Perreira. Dosen Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan pada Fakultas Ekonomi Universitas Dili (UNDIL). Sarjana Ekonomi diperoleh dari Universitas Janabadra Yogyakarta pada tahun 2003. Kemudian menyelesaikan studi Magister Ekonomi dan Studi Pembangunan (M.Si) pada Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta tahun 2012. Selain mengajar, juga sebagai peneliti dan aktivitis pada beberapa organisasi kepemudaan di beberapa kampus dan LSM. Waktu luang lain digunakan untuk menulis artikel artikel tentang masalah ekonomi dan sosial.

23 Mei 2012

Artikel_Keuangan Publik


Sebuah Refleksi Teori dan Praktek

Oleh Crispin da Costa Perreira

Timor Leste telah memasuki tahun ke sepuluh dalam merancang anggaran pendapatan dan belanja negara atau biasa disebut Orcamentu Geral Estado (OGE). Sedikit kita melihat kebelakang sekitar 4 miliar dolar amerika uang rakyat telah digunakan oleh pemerintah dengan tujuan memakmurkan rakyat Timor Leste, hal ini sesuai dengan tujuan daripada kebijakan fiskal. Pertanyaannya adalah refleksi dari anggaran tersebut bisa menyelesaikan masalah rakyat atau tidak? Pada kalangan penguasa saat ini mencoba membela diri dengan berargumen bahwa masalah kita sangat kompleks dan tidak mungkin di selesaikan dalam waktu yang singkat. Tetapi ada juga suatu kebohongan dari para penguasa kepada rakyat dalam mengunakan uang rakyat, dimana hanya 20 persen uang negara itu diinvestasikan untuk kepentingan rakyat miskin sedangkan sisa 80 persen dikonsumsi oleh institusi negara yang dihuni oleh 5% penduduk Timor Leste.

Kemiskinan di Timor Leste
Ada sejarah yang cukup panjang tentang masalah kemiskinan di seluruh dunia. Oleh karena itu, kita harus mencoba  merubah pandangan pemerintah dan masyarakat tentang kemiskinan bahwa, kemiskinan adalah penyakit kronis yang harus segera diobati. Artinya penyakit tersebut perlu penangganan yang serius dan dengan metode yang komperenhensif berkelanjutan serta komitmen yang tinggi. Jika tidak seperti itu akan dimanfaatkan oleh para politikus sebagai komoditi politik untuk diperjual belikan di pasar kampanye pemilu. Mereka akan memisahkan masyarakat menjadi beberapa kelompok sosial ( kaya- miskin, desa- kota, liurai-reinu, terdidik-tidak terdidik, organisasi massa), semua itu dengan tujuan bahwa mudah dipolitisasi(digerakkan) untuk kepentingan mereka.
Kemiskinan telah membatasi hak rakyat untuk (1) memperoleh pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan; (2) Hak rakyat untuk memperoleh perlindungan hukum; (3) Hak rakyat untuk memperoleh rasa aman; (4) Hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan hidup (sandang, pangan, dan papan) yang terjangkau; (5) Hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan pendidikan; (6) Hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan kesehatan; (7) Hak rakyat untuk memperoleh keadilan; (8) Hak rakyat untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan publik dan pemerintahan; (9) Hak rakyat  untuk berinovasi; (10) Hak rakyat menjalankan hubungan spiritualnya dengan Tuhan; dan (11) Hak rakyat untuk berpartisipasi dalam menata dan mengelola pemerintahan dengan baik (Gregorius S).
Kondisi kemiskinan di Timor Leste ada dua kategori, pertama yaitu kemiskinan yang terjadi karena pengaruh kebijakan pembangunan yang belum mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat sehingga menimbulkan ketimpangan distribusi pendapatan dan kedua; kondisi miskin yang ditentukan berdasarkan ketidakmampuan masyarakat mencukupi kebutuhan pokok mereka (sandang, papan, dan pangan).  Pendek kata, kemiskinan merupakan persoalan yang maha kompleks dan kronis. Karena sangat kompleks dan kronis, maka cara penanggulangan kemiskinan pun membutuhkan analisis yang tepat, melibatkan semua komponen permasalahan, dan diperlukan strategi penanganan yang tepat, berkelanjutan dan tidak bersifat temporer. Sejumlah variabel dapat dipakai untuk melacak persoalan kemiskinan, dan dari variabel ini dihasilkan serangkaian strategi dan kebijakan penanggulangan kemiskinan yang tepat sasaran dan berkesinambungan. Dari dimensi pendidikan misalnya, pendidikan yang rendah dipandang sebagai penyebab kemiskinan. Dari dimensi kesehatan, rendahnya mutu kesehatan masyarakat menyebabkan terjadinya kemiskinan. Dari dimensi ekonomi, kepemilikan alat-alat produktif yang terbatas, penguasaan teknologi dan kurangnya keterampilan, dilihat sebagai alasan mendasar mengapa terjadi kemiskinan. Faktor kultur dan struktural juga kerap kali dilihat sebagai elemen penting yang menentukan tingkat kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Tidak ada yang salah dan keliru dengan pendekatan tersebut, tetapi dibutuhkan keterpaduan antara berbagai faktor penyebab kemiskinan yang sangat banyak dengan indikator-indikator yang jelas, sehingga kebijakan penanggulangan kemiskinan tidak bersifat temporer, tetapi permanen dan berkelanjutan.

Penurunan Angka Kemiskinan dan  Institusi Negara yang Gemuk
Ini merupakan pertanyaan yang selalu ditunggu oleh para pemerhati masalah masalah sosial ekonomi dan rakyat yang setiap hari sebagai obyek dari kebijakan itu sendiri. Para politisi di pemerintahan dan parlamen ketika membuat kebijakan anggaran tahunan, selalu menggatasnamakan rakyat miskin sebagai sandaran keputusan. Oleh karena itu rakyat mempunyai hak untuk mengetahui seberapa besar anggaran tersebut bisa memberi manfaat bagi mereka. Menurut saya, secara ekonomi dampak dari kebijaksanaan anggaran selama tiga tahun terakhir hanya untuk mengemukkan institusi pemerintah, artinya distribusi anggaran negara hanya dinikmati oleh sekelompok orang di lingkungan negara (parlamen, pemerintah, tribunal dan presiden). Lalu untuk orang miskin kapan? Apakah 2012 ketika para politisi kampanye baru dibagikan? Pendapatan per kapita kita sekarang sebesar $ 0,80 cent/hari. Dengan angka kemiskinan hampir 70-80 persen dari penduduk Timor Leste, sementara angka pengangguran tumbuh setiap tahunnya berkisar 15-20 persen (jika kita gunakan asumsi usia produktif tiap tahun). Ini merupakan keadaan yang membutuhkan kebijakan yang nyata sehingga masyarakat tidak menjadi korban ke tiga kalinya pada pemilu 2012.
Hal sederhana yang kita lihat adalah alokasi anggaran publik, misalnya pada tahun 2008 APBN Timor Leste sebesar 788,312 juta dolar Amerika, tetapi hanya sekitar 21%  atau 166,487 juta dolar Amerika yang punya dampak terhadap pendapatan masyarakat melalui proyek proyek, subsidi beras, rekoperasi korban 2006, dan subsidi kepada para orang tua usia langjut(60 tahun ke atas) sedangkan sisa anggaran sekitar 79% (621,825 juta dolar Amerika) kembali kepada institusi pemerintah dengan alasan pemberdayaan institusi pemerintahan. Dari 21% itupun kalau asumsinya betul betul digunakan semua untuk kepetingan rakyat, tetapi ada yang hilang di tengah jalan ya, persentasinya bisa menurun lagi. Nah yang 79% itu menjadi pertanyaan kita bersama? Paling tidak harus ada bukti bukti yang bisa ditunjukkan oleh pemerintah kepada publik atau masyarakat bahwa, dana 79% kembali ke pemerintah itu hasil ini loh. Misalnya pelayanan publik yang lebih baik, ada perubahan penggunaan fasilitas atau teknologi baru yang membutuhkan dana besar, kualitas sistem monitoringnya meningkat, dll. Tetapi, yang publik lihat adalah fasilitas negara digunakan untuk kepentingan pribadi contohnya mobil ESTADU dan kupon BBM ini betul betul milik pribadi, jalan masih tambal satu minggu kemudian rusak lagi, distribusi beras ngak beres, listrik masih itu itu juga, sistem judicial masih jalan di tempat(daftar kasus banyak yang tidak terselesaikan), sekolah publik banyak yang rusak, tahap produksi yang diprediksi tidak ada hasil, dan lain lain.  Artinya paling tidak, penggunaan anggaran publik yang jumlahnya sangat besar oleh institusi negara, harus dibuktikan dengan sebuah kinarja yang lebih baik. Tidak ada alasan yang konkrit kecuali sebuah pelayanan dan penyelesaian masalah rakyat yang bermutu dan berkualitas.
Namun agak aneh dua tahun berikutnya (2009 dan 2010) justru ada penurunan penggunaan anggaran negara pada tahun 2009 turun  15,8% (107,439 juta dolar) dari  680,873 juta dolar Amerika. walaupun ada peningkatan pada anggaran pembangunan, misalnya alokasi untuk listrik negara dan transfer untuk veteran perang, pengembangan sektor pertanian  sehingga kita akumulasikan sekitar 47% atau hampir setengah dari APBN. Sayangnya anggaran 47%  atau 318,840 juta dolar dari APBN itu hanya mendorong pertumbuhan ekonomi Timor Leste 12% di atas pertumbuhan ekonomi negara negara di Asia termasuk China pada tahun 2009, tetapi sejujurnya menurut saya pertumbuhan itu tidak berkualitas dan tidak ada indikator makro ekonomi yang jelas untuk mengukur angka tersebut. Buktinya, lapangan kerja masih sama, hanya ada proyek proyek dengan nilai dolar kecil yang ada di beberapa daerah. Hingga hari ini tidak ada data konkrit dari pemerintah yang bisa menunjukkan kepada publik bahwa angka kemiskinan turun sekian persen, lapangan kerja meningkat, pendapatan masyarakat naik sekian persen. Namun fakta menunjukkan terbalik bahwa anggaran meningkat tetapi kondisi riil lebih buruk misalnya infrastruktur jalan di seluruh Timor Leste yang tidak layak namun tetap dipakai karena tidak ada alternatif.

Lantas bagaimana defisit APBN 2012 dan Utang luar Negeri Timor Leste sebesar 69 juta dolar?
               
Hal yang sudah diprediksi sejak awal pada pemerintahan AMP. Bahwa penggunaan anggaran negara yang cenderung boros akan menyebabkan defisit anggaran di suatu ketika. Keadaan ini terbukti pada Defisit anggaran negara Timor Leste merupakan upaya sengaja dan diciptakan oleh pemerintah. Alasan dari argumentasi ini adalah bahwa masih ada opsi lain dari kebijakan fiskal yang bisa dilakukan oleh pemerintah untuk menghidari utang luar negeri. Tetapi pemerintah cenderung memilih utang sebagai opsi terbaik bagi pemerintahan AMP dalam menutup anggaran defisit. Dua alasan/pilihan kebijakan yang mendasar yaitu pemerintah bisa menaikan kembali pajak terutama terhadap barang-barang mewah Elektronik seperti TV, Mobil, Emas, Kulkukas, Radio dll. Kedua pemerintah juga bisa melakukan penghematan anggaran; bahwa politik alokasi yang cenderung mengemukkan institusi pemerintah dibandingkan anggaran pembangunan perlu dipangkas. Selain itu, pengelolaan terhadap perusahaan-perusahaan negara merupan upaya alternatif untuk menutup defisit tersebut. Jadi politik boros yang membuat para membru governu gemuk di satu sisi, dan di lain pihak membuat rakyat jadi kurus selama satu dekade ini. Rakyat pula yang akan menanggung beban utang yang dibuat oleh pemerintah saat ini. Nah, Pertanyaannya adalah apakah Timor Leste akan sama seperti Indonesia dan Argentina yang semua roda perekonomiannya banyak dipengaruhi oleh utang luar negeri dan intervensi pihak asing?

Anggaran publik, kepentingan rakyat, dan kontrol sosial
Masalah kemiskinan tidak dapat berdiri sendiri atau dipisahkan dari negara sebagai payung yang melindungi rakyatnya dari berbagai persolan. Cermin dari rasa tanggungjawab negara itu terlihat dari seberapa besar perhatian negara untuk menyelesaikan masalah masalah rakyatnya, konkritnya adalah bagaimana negara mengalokasikan anggaran untuk membantu masyarakat supaya keluar dari lingkaran kemiskinan.  Namun setelah sepuluh tahun berlalu, APBN kita tidak memihak pada kepentingan rakyat sehingga distribusi pendapatan menjadi kacau, daya beli rendah, dan lapangan kerja sulit. Ada beberapa alasan mengapa APBN dikatakan tidak memihak pada kepentingan rakyat:
1.       Hampir 70-80% Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara di Timor Leste berputar di lingkungan elite politik yang jumlahnya hanya 5% dari populasi Timor Leste. Artinya alokasi untuk konsumsi pemerintah lebih besar daripa anggaran pembangunan.
2.       Pemerintah hanya membuat proyek proyek kecil untuk membuat masyarakat sibuk seketika dan setelah  selesai mereka tidak bekerja lagi, biasanya satu sampai tiga bulan dalam satu tahun. Nah bagaimana kita bisa mengukur pendapatan mereka sehingga pertumbuhan ekonomi 12% itu bisa terbukti. Secara ekonomi alokasi anggaran negara tidak dapat merespon indikator indikator makro ekonomi seperti, pendapatan, peluang kerja, pengganguran, kualitas hidup, perbaikan gizi, dan lain lain.
3.       Banyak dana negara yang seharusnya bisa digunakan untuk memberdayakan ekonomi rakyat, misalnya melalui fasilitas modal usaha, tetapi justru digunakan untuk jalan jalan ke distrik Bali dan Surabaya seperti yang di sampaikan oleh presiden RDTL beberapa waktu lalu.

Masalah lain yang kita lihat adalah pertama, lemahnya kontrol parlamen terhadap eksekutif. Banyak pelanggaran yang dilakukan oleh pemerintah dalam mengeksekusi anggaran negara tetapi itu dibiarkan saja. Misalnya tender tender yang tidak wajar, kualitas bangunan yang tidak sesuai dengan rencana, penyalahgunaan kekuasaan, dan sebagainya. Parlaman sebagai penyambung lidah rakyat justru mendukung kebijakan pemerintah dan tidak memihak kepantingan rakyat miskin, walaupun masih ada oposisi tetapi jumlahnya tidak sebanding dengan Aliansa(AMP) sehingga keputusan akhir tetap oposisi kalah. Sebenarnya parlamen dalam melakukan fungsi tidak sesuai dengan mandat yang diberikan oleh Konstitusi RDTL  pasal 95 ayat 3 huruf (e) Konstitusi RDTL tentang pengawsan terhadap pemerintah dalam mengeksekusi anggaran. Mereka tidak lagi berbicara kepentingan rakyat miskin seperti pada waktu kampanye pemilihan, namun yang kita lihat adalah ada upaya saling melindungi antara eksekutif dan legislatif yang pro pemerintah.
Kedua, Lembaga lain dari parlamen adalah lembaga swadaya masyarakat (LSM/NGO, gereja, media, dan akademisi), merupakan lembaga alternatif pengawasan terhadap seluruh institusi negara. Namun kita kecewa dengan lembaga lembaga ini karena tiga tahun terakhir mereka juga sebagai bagian dari kebijakan anggaran negara dimana pemerintah telah menyediakan dana kepada NGO NGO sehingga hal ini akan mempengaruhi sikap mereka terhadap pemerintah. Misalnya ada sekelompok orang dari NGO mencoba mengalihkan persoalan ketika PM Xanana membuat pernyataan Tsunami terhadap KKN, ada juga NGO yang pada zaman PM Mari Alkateri sangat keras berbicara masalah korupsi sekarang justru berebutan mendapatkan dana sosiadade sivil yang disediakan pemerintah. Yang lebih buruk lagi adalah Gereja Katholik yang mempunyai umat miskin 95% di Timor Leste diam seribu bahasa dan membiarkan umat sengsara, para imam lebih suka berbicara kerusakan bangunan gereja daripada kerusakan moral umatnya akibat PENYAKIT KEMISKINAN. Selain NGO dan Gereja, media massa lebih lebih elektronik tidak lagi sebagai kontrol sosial tetapi sebagai pelayan pemerintah. 90% dari informasi TVTL adalah didapat dari rombongan jurnalis dengan membru governu, jika tidak ada kunjungan membru governu ke distrik apa yang terjadi dengan TVTL? Masyarakat salah menilai TVTL sebagai media publik, seharusnya adalah TV swasta karena siarannya dimonopli oleh sekelompok orang yang bermerek anggota pemerintah. Pada hal banyak fenomena/masalah yang timbul di masayarakat di daerah daerah pedesaan yang tidak diketahui oleh publik. Akademisi adalah senjata terakhir yang masih dipercaya, tetapi telah di boikot oleh kekuasaan dengan berbagai intimidasi dan janji terselebung kepada para aktivis. Jadi kesimpulannya adalah sistem kontrol kita terhadap penggunaan anggaran negara sangat lemah dan tidak ada lagi yang dipercaya untuk mengawasi aliran anggaran tersebut.

Sebagai masyarakat, menghimbau kepada pemerintah bahwa jika rakyat sebagai obyek dari kebijkan maka sudah sewajarnya persentasi alokasi anggaran harus lebih banyak untuk kepentingan rakyat, bukan institusi negara yang huni oleh segelintir orang saja. Rekomendasi saya: Pertama; untuk mengatasi penyakit kemiskinan adalah merubah kebijaksanaan alokasi anggaran dengan mengunakan indikator makro yang relevan sehingga hasilnya bisa terlihat, jangan hanya mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi tidak BERKUALITAS. Kedua; tim ekonomi pemerintah harus bekerja lebih keras, jujur, dan punya hati nurani untuk Timor Leste sehingga dalam membuat asumsi Ekonomi  mengunakan data data konkrit dan relevan dengan kondisi di Timor Leste (menyediakan data dengan melakukan survey sebagai dasar pertimbangan kebijakan), karena tim ekonomi termasuk orang orang yang terlibat langsung dalam menentukan nasib rakyat miskin di Timor Leste. Ketiga; Perlu memperbaiki mutu investasi pemerintah agar biaya penyusutannya tidak terlalu tinggi pada tiap tahun. Keempat; Penyalahgunaan fasilitas negara atau korupsi harus segera di proses dan ditindak agar tidak merembes. KAK sudah harus bekerja tidak hanya diam seperti TAMBOR yang dalamnya kosong tetapi dipukul bunyinya lantang).

Biodata:


Crispin da Costa Perreira, Adalah dosen Universitas Dili (UNDIL) dan dosen part time di beberapa perguruan tinggi di Dili, pernah menjadi staf peneliti di bidang ekonomi pada lembaga penelitian TIDS, penasehat beberapa organisasi kepemudaan di lingkungan kampus dan menulis beberapa artikel tentang keuangan publik dan Ekonomi Timor Leste. Selesai Studi Sarjana Ekonomi (S1) tahun 2003 pada bidang Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan di Universitas Janabadra Jogjakarta, dan menyelesaikan Magister Ekonomi dan Studi Pembangunan pada Universitas Sebelas Maret Surakarta tahun 2012.

22 Mei 2012

Tugas_Komunikasi Bisnis


TUGAS KOMUNIKASI BISNIS
Dikumpulkan(waktu 3 hari)

  1. Coba anda pikirkan seandainya Anda memeliki beberapa macam kelompok yang berbeda antara yang satu dengan yang lain. Apa peran komunikasi didalam menetapkan keanggotaan untuk kelompok tersebut? 
  2.   Apabila Anda menjabat sebagai seorang manajer dalam suatu perusahaan, apa tindakan yang akan Anda lakukan jika menjumpai para karyawan lebih banyak mengobralkan hala-hal di luar tugas ketimbang melakukan tugas-tugas utamanya pada jam-jam kerja?
  3. Beberapa tahun yang lalu di sebuah kota di Jawa Barat beredar isu sebagai bahan pembuatan bakso. Hal tersebut sempat membuat resah konsumen bakso yang beragama islam maupun para penjual baksonya, yang merasa bahwa baksonya tidak mengandung daging babi. Untuk mengatasi krisis terjadi tersebut, komunikasi menjadi penting artinya. Seandainya Anda adalah penjual bakso mengunakan daging yang dianggap halal, apa langkah yang harus dilakukan untuk mengatasi krisis tersebut? Jelaskan.