24 Sep 2012

Memabaca Teologi Pembebasan di Tengah Kapitalisme Global


Memabaca Teologi Pembebasan di Tengah Kapitalisme Global

Amerika Latin disebut dalam situasi yang tidak manusiawi, karena beberapa alasan; ketidakamanan, kemiskinan, kelaparan, ketidaktersediaan perumahan, angka kematian bayi tinggi, kebodohan, pengangguran tinggi, buta huruf, dan proses alienasi dari proses pendidikan yang diimpor tanpa filter dari nalar Eropa dan Amerika. Kesadaran menjadi kelas yang tertindas sangat kecil, terlebih dalam kekuasaan politik diktator militeristik.
Pelembagaan kekerasan menjadi sebuah fenomena serius, pengabaian terhadap kaum miskin, institusi pengadilan yang tak pernah mendengarkan suara kelompok miskin, hina-dina, dan anak-anak yang kurang gizi berada di mana-mana.  Secara kultural juga berkembang egoisme, individualistik, melemahnya rasa sayang, persuadaraan dan solidaritas.
Ketergantungan pembangunan ekonomi terhadap agen-agen kapitalisme, juga menjadi bagian serius yang justru mempurukkan Amerika Latin pada situasi yang amat miskin, hancurnya kebudayaan dan tentu saja bersamaan dengan itu menguatnya segelintir orang yang memiliki akses pada bidang ekonomi.
Pada sisi yang lain, di Amerika Latin juga menguat tradisi pemikiran pro-sosialis, politik, sosial dan keagamaan yang kesemuanya mengalami proses transformasi yang amat cepat dan mengakibatkan sebuah situasi gagap budaya yang luar biasa.
Perubahan struktural dibayangkan oleh para penguasa sebagai keputusan yang bisa menyelesaikan berbagai persoalan sosial, terutama agenda pembangunan, dengan menggandeng lembaga-lembaga moneter internasionla, seperti Bank Dunia dan IMF. Tetapi sebagai kondisi kekinian, kebijakan perubahan struktural ini—yang memang menjadi persyaratan utama untuk bisa mendapatkan pinjaman—memang hanya menguntungkan segelintir orang: para pelaku industri nasional, dan tentu saja investor asing ketika mereka menginvestasikan dananya pada bidang-bidang tertentu yang mendapatkan manfaat dari pembatasan tarif dan perlindungan pasar nasional. Kelompok lain yang mendapatkan keuntungan dari kebijakan ini, adalah kelas menengah perkotaan, seperti para kaum profesional kelas menengah.
Akhirnya, Amerika Latin memang mengahadapi persoalan serius terkait dengan agenda-agenda pembangunannya, seperti terbatasnya modal kapital, perkembangan teknologi dan nilai-nilai tradisional. Padahal perubahan struktral ekonomi, mensyaratkan adanya ketersediaan modal yang cukup, hilangnya nilai tradisional dan menemukan berbagai cara untuk meningkatkan produktivitas.
Pencarian Jawaban
Pertanyaan serius lantas muncul, di mana Tuhan, pada situasi tidak manusiawi, situasi dosa, padahal dalam firmanNya jelas-jelas dinyatakan Ia memihak kepada kaum tertindas. Pengalaman negatif mengenai absennya Tuhan dalam kehidupan umat. Gugatan teologis semacam ini yang tampaknya mendorong sebagian kecil para bishop mulai mempertanyakan kembali konsep teologi mereka yang tak mampu melakukan perbaikan-perbaikan serius pada level kehidupan rakyat kebanyakan.
Jawabannya, gagasan mengenai teologi pembebasan. Gustavo Gutierrez, seorang imam Katolik Roma Peru, diakui sebagai orang pertama yang menggunakan istilah ini melalui buku Theology of Liberation. Tokoh-tokoh lainnya, seperti Leonardo Boff dari Brazil dan Juan Luis Segundo Uruguay. Pada awalnya, teologi pembebasan sebenarnya tak lebih dari sebuah kajian di kalangan Katolik Latin Amerika yang berpandangan Injil Kristus menuntut gereja sudah seharusnya membebaskan rakyat dunia dari kemiskinan dan penindasan.
Meskipun gerakan teologi pembebasan mendapatkan inspirasi awalnya dari Konsili Vatikan Kedua dan ensiklik kepausan 1967, dan mendapat dukungan dari para uskup Amerika Latin, terutama dengan diadopsinya pada konferensi 1968 di Medelin, Kolombia. Meskipun begitu, tetap menguat juga keberatan pihak Gereja Katolik Roma atas penggunaan gagasan Marx, dukungan terhadap kelompok revolusioner dan kritik terhadap lembaga gereja tradisional. Misalnya, kecaman yang dikeluarkan Boff pada tahun 1985 kepada otoritas Vatikan. Gerakan ini tampaknya tetap mendapatkan dukungan dengan dimasukkannya teologi pembebasan ke dalam 1986 meski dalam bentuk teologi pembebasan yang lebih moderat.
Pada sisi gagasan, teologi pembebasan dituding sebagai bentuk neo-marksian, yang sebelumnya, telah memberikan kritik amat tajam terhadap agama sebagai institusi yang menjadikan masyarakat tenggelam dalam budaya bisu. Tudingan ini tampaknya sulit untuk ditampik, karena kentara sekali, para teologian pembebasan dengan dukungan para analis sosial kritis memang mencoba melakukan instalasi ulang berbagai gagasan dari Marx meskipun, tidak langsung, melainkan gagasan yang sudah dikembangkan ulang oleh orang-orang seperti Gramsci di Italia atau MariƔtegui di Peru.
Mendapatkan kritik keras, terkait dengan cara pandang Marx terhadap agama, para teolog pembebasan menyatakan analisis Marxis penting digunakan untuk melihat gerakan perjuangan kelas dan menganalisis akar eksploitasi dan dominasi dalam masyarakat dengan prinsip antikebencian dan antikekerasan.
Penyebaran wacana mengenai gerakan Marxis di Amerika Latin dan kelompok-kelompok seperti Sandinista, memiliki cara pandang, kebijakan dan tindakan yang berbeda dengan yang dilakukan kelompok Marxis di negara lain, memiliki kepentingan untuk menghindari tekanan penguasa. Sebab, pemerintah sayap kanan memberikan cap Marxis atau komunis subversif untuk menahan gerakan reformasi yang dilakukan. Pengalaman yang sama penekanan menggunakan kata Marxis, juga terjadi di beberapa negara, seperti El Salvador, Taiwan dan tentu saja di Indonesia. Dan bahkan di Indonesia, masih terasa sampai saat ini trauma serius berkaitan dengan kata ‘komunis’ yang selalu dinisbahkan pada pemikiran-pemikiran Marxis.
Pembumian Gagasan
Membaca latar munculnya gagasan teologi pembebasan secara singkat dan mungkin juga sangat beresiko terjadinya simplifikasi, mengarahkan pada kesimpulan; teologi pembebasan sebagai sebuah gerakan untuk menyatukan teologi dan keprihatinan sosial-politik. Sebuah gagasan yang pada akhirnya mampu menyatukan berbagai gerakan sosial, dan mampu mengekspresikan gerakan yang dilakukan kulit hitam, feminis, gerakan di Asia, Hispanik Amerika, dan penduduk asli Amerika.
Keprihatinan sosial, telah membawa para teolog pembebasan pada satu kesimpulan, Amerika Latin telah menjadi korban bangkitnya kolonialisme, imperialisme global, dan perusahaan-perusahaan multinasional (MNC). Konsep developmentalisme menempatkan negara-negara terbelakang yang sering disebut juga Dunia Ketiga memasuki kondisi ketergantungan serius, terhadap berbagai keputusan ekonomi yang diputuskan dan dikendalikan di New York, Houston dan London. Bahkan untuk melanggengkan eksploitasi ekonomi, negara kapitalis kuat, seperti Amerika Serikat, memberikan  dukungan militer dan ekonomi terhadap penguasa negara-negara berkembang yang bersedia untuk melayani kepentingan negara kapitalis, dan mendukung status quo ekonomi.
Pembumian gagasan teologi pembebasan menuntut dilakukan redefinisi mengenai pemahaman teologi. Gustavo Gutierrez memahami teologi sebagai bentuk reflektif kritis mengenai praksis historis. Teologi bukanlah sistem kebenaran yang abadi, melainkan terlibat dalam proses berulang-ulang dari sistematisasi dan apologetik argumentatif.
Teologi merupakan proses dinamis, bukan konsep stagnan dan mapan, berputas dan berkelanjutan dengan melibatkan perkembangan gagasan-gagasan kontemporer, adalah (epistemologi), manusia (antropologi), dan sejarah (analisis sosial). Praxis dipahami sebagai melampaui dari sekedar penerapan kebenaran teologis berkaitan dengan situasi tertentu.
Dalam konteks Amerika Latin, gagasan ini berarti sedang menunnukkan pada proses gerakan yang membawa kebenaran teologis keluar dari situasi sejarah-sejarah kerasulan, kenabian, untuk mendukung adanya partisipasi manusia dalam merumuskan kebenaran berkaitan dengan perjuangan kelas di Amerika Latin menuju masyarakat dengan kesadaran baru dan tentu saja mnasyarakat sosialis baru.
Teolog pembebasan bukan mewujud sebagai seorang teoritisi tetapi manusia yang terlibat, intelektual terlibat, sepemahaman dengan intelektual organis yang melakukan berbagai gerakan untuk melakukan transformasi sosial. Untuk inilah, para teolog tampaknya meminjam analisis Marx untuk melihat terjadinya budaya penindas dan penindasan, mengidentifikasi ketidakadilan dan eksploitasi dalam konteks sejarah. Kelebihannya, kalau Marxisme hanya berlandaskan pada gagasan materialisme sejarah, teologi pembebasan beralih ke iman Kristen sebagai media untuk melakukan pembebasan. DI sinilah, teologi pembebasan menunjukkan kegagalan Marx dalam melihat kekuatan, emosi simbolik, dan sosiologis gereja yang bisa digunakan dalam perjuangan untuk keadilan.
Pembebasan manusia dalam konteks ini, diandaikan bisa dimulai dengan pembenahan infrastruktur ekonomi, meskipun gagasan ini pada akhirnya terbukti gagal. Berbagai kesulitan menghadang, karena ekonomi yang berkembang di Amerika Latin justru dikuasai oleh ekonomi kapitalis yang membonceng dalam gagasan pembangunanisme melalui perubahan sturktural.
Meskipun demikian, wacana kaum miskin, tampaknya tetap menguat, sehingga dalam konsep hermeneutika teologi pembebasan, Hugo Assmann memunculkan ide mengenai hak istimewa epistemologis kaum miskin. Pada kehidupan sosial yang mayoritas kaum miskin atau Katolik Roma, teologi pembebasan menggunakan konsep ketidakmanusiawian manusia terhadap manusia.
Tantangan lain yang dihadapi para teolog pembebasan, bagaimana mampu merumuskan konsep persekutuan dengan Allah didasarkan merupakan interkasi dengan kaum miskin dan kelas tertindas, melihat realitas dengan penderitaan dan berbagi nasib dengan kaum miskin.
Berbagai jargon gerakan semacam ini, membawa satu konsekuensi kritik serius mengenai doktrin ortodoks Allah yang berada dalam bayang-bayang pemikiran Yunani kuno tentang Allah, yang tidak saja bisa dimanipulasi untuk mendukung ekonomi kapitalistik, melainkan juga mengabaikan transendensi Allah dengan mengeluarkan Allah dari kehidupan keseharian manusia dan jauh dari sejarah manusia. Gagasan yang akhirnya menjadikan Allah sebagai entitas ‘di luar sana’ dan ‘di atas sana.’ Gagasan teologi ortodoks yang telah menjadikan kaum miskin menjadi pasif, pasrah dalam menghadapi ketidakadilan. Teologi pembebasan mengenalkan cara pandang baru, kesadaran baru, Allah bisa ditemukan dalam perjalanan sejarah manusia. Berdiri di hadapan kita, di perbatasan masa depan sejarah. Penderitaan dan rasa sakit dijadikan sebagai kekuatan untuk mengetahui Tuhan, ditemukan pada salib yang tertindas bukan dalam kecantikan, dan kekuasaan.
Daftar panjang perubahan makna berbagai doktrin religius lama dikembangkan, keselamatan sebagai proses pembebasan dari berbagai situasi penindasan dan ketidakadilan, merangkul seluruh proses humanisasi. Dosa dimaknai sebagai kekejaman manusia terhadap manusia. Kelompok revolusioner di Kuba bahkan lebih radikal dengan mendefinisikan ulang makna ‘ibadah’ sebagai kepentingan untuk meningkatkan produktivitas nasional, kemajuan teknologi, dan pertahanan revolusi. Allah otentik adalah revolusi.
Pertanyaan dari Michel Novak sangat menarik, setelah berpanjang lebar wacana yang dikembangkan, sesungguhnya teologi pembebasan sedang berbicara mengenai ketidakadilan atau partisipasi akar rumput. Jika jawabannya pada membangun partisipasi akar rumput, pembangunan dari bawah, sesungguhnya teologi pembebasan tidak sedang berjalan ke mana-mana, karena gagasan semacam itu juga berkembang secara dinamis dalam sistem ekonomi kapitalis yang menindas.
Apalagi manakala para teolog  mendukung gagasan perubahan struktural yang sesungguhnya merupakan agenda pokok dari kelahiran baru kapitalisme internasional. Keharusan yang mesti dilakukan negara-negara terbelakang dalam menerima hutang luar negeri. Perubahan struktural merupakan bagian agenda untuk menyelematkan investasi kapitalis melalui hutang-hutang luar negeri yang dijalankan melalui mekanisme Bank Dunia dan IMF.
Persoalannya hutang luar negeri menjadi mendasar dan serius untuk direspons, karena masalah akut dari negara-negara Amerika Latin adalah bergulat dengan beban yang terus meningkat dari hutang luar negeri.
Tantangannya, apakah teologi pembebasan mampu menjawab tantangan hutang luar negeri ini dengan memberikan tawaran-tawaran konseptual mengenai pembangunan ekonomi? Sebuah pertanyaan yang tampaknya terus menggantung dan tidak mendapatkan jawaban yang pasti dalam pembahasan mengenai teologi pembebasan dalam dokumen ini, kecuali cita-cita yang belum teruji mengenai politik ekonomi kombinatif dari statisme dan populisme.
Kehadiran ECLA (Komisi Ekonomi PBB untuk Amreika Latin), merupakan tantangan serius karena komisi ini memang dengan jelas membawa gagasan ekonomi kapitalisme masuk secara langsung ke Amerika Latin. Model khas ekonomi kapitalistik yang juga sudah dilakukan sebelumnya ke seluruh dunia, terutama pada tahun 1930-an, 1940-an, dan 1950-an. Sebuah proses pelembagaan marginalisasi akan segera bergerak dan menyebar, dan mengakibatkan kaum miskin akan semakin masuk dalam ketertindasan yang makin dalam.
Inilah taktik yang dikembangkan kapitalis-liberalis yang tidak diperhitungkan para teolog pembebasan, gerusan indutrialisme pengusaha industri nasional baru, dan menguatnya industrialisme perkotaan, yang membentuk pandangan baru mengenai nilai, tradisi yang masuk akal, dan leksikon pembangunan . Denis Goulet menyebutnya sebagai dua interpretasi yang saling bertentangan dari realitas sejarah, pertempuran prinsip dari dua organisasi sosial.
Kalangan gerakan pembebasan terus mendengungkan dan menemukan ekspresinya dengan ‘aksi budaya untuk kebebasan, manusia baru dan dunia baru, dan penyadaran. Sementara pikiran developmentalisme kapitalis mendengungkan modernisasi sosial, reformasi politik, pertumbuhan ekonomi.
Agenda ke depan, teolog pembebasan tampaknya harus menghilangkan tengara Novak mengenai situasi yang tidak mendukung pada perubahan dan transformasi sosial. Sebagai kasus di Amerika Latin, tidak memiliki sistem, etos, kebajikan, dan lembaga yang diperlukan untuk menghilangkan atau meminimalkan kemiskinan. Budaya Katolik Latin gagal menanamkan etika kerja dan kreativitas dan di sisi yang lain di Amerika Latin memang secara ekstrem kekuatan ekonomi dan politik terkonsentrasi hanya di tangan beberapa orang.
Karenanya, gerakan pembebasan di Amerika Latin untuk tidak menyalahkan Amerika Serikat dengan kemarahan, melainkan belajar dari Amerika Serikat dan Eropa Barat tentang sistem, etos, kebijakan, dan lembaga yang membuat mereka sukses. Selain melihat keberhasilan negara industri baru di Timur Jauh, seperti Taiwan dan Korea Selatan atau macan kecil di Asia, Singapura.
Akh…, sebuah nasehat amat klasik: “ingin menaklukan musuh, maka pelajarilah musuhmu itu sendiri.”
Tetapi bagi saya, teologi pembebasan mungkin akan menemukan pijakannya, manakala kalangan gereja pada kekinian, tidak bersibuk ria untuk juga mengakumulasi kapital untuk kepentingan-kepentingan lembaga gereja itu sendiri. Tidak lagi berkepentingan untuk memperbanyak jemaat, sebagai jalan menuju surga, melainkan secara serius menjalankan tafsir ulang terhadap berbagai doktrin Kristen yang telah dilakukan para penggagas teologi pembebasan.

Tidak ada komentar: