Memabaca Teologi Pembebasan di Tengah Kapitalisme Global
Amerika Latin disebut dalam situasi yang tidak
manusiawi, karena beberapa alasan; ketidakamanan, kemiskinan, kelaparan,
ketidaktersediaan perumahan, angka kematian bayi tinggi, kebodohan,
pengangguran tinggi, buta huruf, dan proses alienasi dari proses
pendidikan yang diimpor tanpa filter dari nalar Eropa dan Amerika.
Kesadaran menjadi kelas yang tertindas sangat kecil, terlebih dalam
kekuasaan politik diktator militeristik.
Pelembagaan kekerasan menjadi sebuah fenomena
serius, pengabaian terhadap kaum miskin, institusi pengadilan yang tak
pernah mendengarkan suara kelompok miskin, hina-dina, dan anak-anak yang
kurang gizi berada di mana-mana. Secara kultural juga berkembang
egoisme, individualistik, melemahnya rasa sayang, persuadaraan dan
solidaritas.
Ketergantungan pembangunan ekonomi terhadap
agen-agen kapitalisme, juga menjadi bagian serius yang justru
mempurukkan Amerika Latin pada situasi yang amat miskin, hancurnya
kebudayaan dan tentu saja bersamaan dengan itu menguatnya segelintir
orang yang memiliki akses pada bidang ekonomi.
Pada sisi yang lain, di Amerika Latin juga
menguat tradisi pemikiran pro-sosialis, politik, sosial dan keagamaan
yang kesemuanya mengalami proses transformasi yang amat cepat dan
mengakibatkan sebuah situasi gagap budaya yang luar biasa.
Perubahan struktural dibayangkan oleh para
penguasa sebagai keputusan yang bisa menyelesaikan berbagai persoalan
sosial, terutama agenda pembangunan, dengan menggandeng lembaga-lembaga
moneter internasionla, seperti Bank Dunia dan IMF. Tetapi sebagai
kondisi kekinian, kebijakan perubahan struktural ini—yang memang menjadi
persyaratan utama untuk bisa mendapatkan pinjaman—memang hanya
menguntungkan segelintir orang: para pelaku industri nasional, dan tentu
saja investor asing ketika mereka menginvestasikan dananya pada
bidang-bidang tertentu yang mendapatkan manfaat dari pembatasan tarif
dan perlindungan pasar nasional. Kelompok lain yang mendapatkan
keuntungan dari kebijakan ini, adalah kelas menengah perkotaan, seperti
para kaum profesional kelas menengah.
Akhirnya, Amerika Latin memang mengahadapi
persoalan serius terkait dengan agenda-agenda pembangunannya, seperti
terbatasnya modal kapital, perkembangan teknologi dan nilai-nilai
tradisional. Padahal perubahan struktral ekonomi, mensyaratkan adanya
ketersediaan modal yang cukup, hilangnya nilai tradisional dan menemukan
berbagai cara untuk meningkatkan produktivitas.
Pencarian Jawaban
Pertanyaan serius lantas muncul, di mana Tuhan,
pada situasi tidak manusiawi, situasi dosa, padahal dalam firmanNya
jelas-jelas dinyatakan Ia memihak kepada kaum tertindas. Pengalaman
negatif mengenai absennya Tuhan dalam kehidupan umat. Gugatan teologis
semacam ini yang tampaknya mendorong sebagian kecil para bishop mulai
mempertanyakan kembali konsep teologi mereka yang tak mampu melakukan
perbaikan-perbaikan serius pada level kehidupan rakyat kebanyakan.
Jawabannya, gagasan mengenai teologi
pembebasan. Gustavo Gutierrez, seorang imam Katolik Roma Peru, diakui
sebagai orang pertama yang menggunakan istilah ini melalui buku Theology
of Liberation. Tokoh-tokoh lainnya, seperti Leonardo Boff dari
Brazil dan Juan Luis Segundo Uruguay. Pada awalnya, teologi pembebasan
sebenarnya tak lebih dari sebuah kajian di kalangan Katolik
Latin Amerika yang berpandangan Injil Kristus menuntut gereja sudah
seharusnya membebaskan rakyat dunia dari kemiskinan dan penindasan.
Meskipun gerakan teologi pembebasan mendapatkan inspirasi awalnya dari
Konsili Vatikan Kedua dan ensiklik kepausan 1967, dan mendapat dukungan
dari para uskup Amerika Latin, terutama dengan diadopsinya pada
konferensi 1968 di Medelin, Kolombia. Meskipun begitu, tetap menguat
juga keberatan pihak Gereja Katolik Roma atas penggunaan gagasan Marx,
dukungan terhadap kelompok revolusioner dan kritik terhadap lembaga
gereja tradisional. Misalnya, kecaman yang dikeluarkan Boff pada tahun
1985 kepada otoritas Vatikan. Gerakan ini tampaknya tetap mendapatkan
dukungan dengan dimasukkannya teologi pembebasan ke dalam 1986 meski
dalam bentuk teologi pembebasan yang lebih moderat.
Pada sisi gagasan, teologi pembebasan dituding
sebagai bentuk neo-marksian, yang sebelumnya, telah memberikan kritik
amat tajam terhadap agama sebagai institusi yang menjadikan masyarakat
tenggelam dalam budaya bisu. Tudingan ini tampaknya sulit untuk
ditampik, karena kentara sekali, para teologian pembebasan dengan
dukungan para analis sosial kritis memang mencoba melakukan instalasi
ulang berbagai gagasan dari Marx meskipun, tidak langsung, melainkan
gagasan yang sudah dikembangkan ulang oleh orang-orang seperti Gramsci
di Italia atau MariƔtegui di Peru.
Mendapatkan kritik keras, terkait dengan cara
pandang Marx terhadap agama, para teolog pembebasan menyatakan analisis
Marxis penting digunakan untuk melihat gerakan perjuangan kelas dan
menganalisis akar eksploitasi dan dominasi dalam masyarakat dengan
prinsip antikebencian dan antikekerasan.
Penyebaran wacana mengenai gerakan Marxis di
Amerika Latin dan kelompok-kelompok seperti Sandinista, memiliki cara
pandang, kebijakan dan tindakan yang berbeda dengan yang dilakukan
kelompok Marxis di negara lain, memiliki kepentingan untuk menghindari
tekanan penguasa. Sebab, pemerintah sayap kanan memberikan cap Marxis
atau komunis subversif untuk menahan gerakan reformasi yang
dilakukan. Pengalaman yang sama penekanan menggunakan kata Marxis, juga
terjadi di beberapa negara, seperti El Salvador, Taiwan dan tentu saja
di Indonesia. Dan bahkan di Indonesia, masih terasa sampai saat ini
trauma serius berkaitan dengan kata ‘komunis’ yang selalu dinisbahkan
pada pemikiran-pemikiran Marxis.
Pembumian Gagasan
Membaca latar munculnya gagasan teologi pembebasan
secara singkat dan mungkin juga sangat beresiko terjadinya simplifikasi,
mengarahkan pada kesimpulan; teologi pembebasan sebagai sebuah gerakan
untuk menyatukan teologi dan keprihatinan sosial-politik. Sebuah gagasan
yang pada akhirnya mampu menyatukan berbagai gerakan sosial, dan mampu
mengekspresikan gerakan yang dilakukan kulit hitam, feminis, gerakan di
Asia, Hispanik Amerika, dan penduduk asli Amerika.
Keprihatinan sosial, telah membawa para teolog
pembebasan pada satu kesimpulan, Amerika Latin telah menjadi korban
bangkitnya kolonialisme, imperialisme global, dan perusahaan-perusahaan
multinasional (MNC). Konsep developmentalisme menempatkan negara-negara
terbelakang yang sering disebut juga Dunia Ketiga memasuki kondisi
ketergantungan serius, terhadap berbagai keputusan ekonomi yang
diputuskan dan dikendalikan di New York, Houston dan London. Bahkan
untuk melanggengkan eksploitasi ekonomi, negara kapitalis kuat, seperti
Amerika Serikat, memberikan dukungan militer dan ekonomi terhadap
penguasa negara-negara berkembang yang bersedia untuk melayani
kepentingan negara kapitalis, dan mendukung status quo ekonomi.
Pembumian gagasan teologi pembebasan menuntut dilakukan redefinisi
mengenai pemahaman teologi. Gustavo Gutierrez memahami teologi sebagai
bentuk reflektif kritis mengenai praksis historis. Teologi bukanlah
sistem kebenaran yang abadi, melainkan terlibat dalam proses
berulang-ulang dari sistematisasi dan apologetik argumentatif.Teologi merupakan proses dinamis, bukan konsep stagnan dan mapan, berputas dan berkelanjutan dengan melibatkan perkembangan gagasan-gagasan kontemporer, adalah (epistemologi), manusia (antropologi), dan sejarah (analisis sosial). Praxis dipahami sebagai melampaui dari sekedar penerapan kebenaran teologis berkaitan dengan situasi tertentu.
Dalam konteks Amerika Latin, gagasan ini berarti
sedang menunnukkan pada proses gerakan yang membawa kebenaran teologis
keluar dari situasi sejarah-sejarah kerasulan, kenabian, untuk mendukung
adanya partisipasi manusia dalam merumuskan kebenaran berkaitan dengan
perjuangan kelas di Amerika Latin menuju masyarakat dengan kesadaran
baru dan tentu saja mnasyarakat sosialis baru.
Teolog pembebasan bukan mewujud sebagai seorang
teoritisi tetapi manusia yang terlibat, intelektual terlibat,
sepemahaman dengan intelektual organis yang melakukan berbagai gerakan
untuk melakukan transformasi sosial. Untuk inilah, para teolog tampaknya
meminjam analisis Marx untuk melihat terjadinya budaya penindas dan
penindasan, mengidentifikasi ketidakadilan dan eksploitasi dalam konteks
sejarah. Kelebihannya, kalau Marxisme hanya berlandaskan pada gagasan
materialisme sejarah, teologi pembebasan beralih ke iman Kristen sebagai
media untuk melakukan pembebasan. DI sinilah, teologi pembebasan
menunjukkan kegagalan Marx dalam melihat kekuatan, emosi simbolik, dan
sosiologis gereja yang bisa digunakan dalam perjuangan untuk keadilan.
Pembebasan manusia dalam konteks ini, diandaikan
bisa dimulai dengan pembenahan infrastruktur ekonomi, meskipun gagasan
ini pada akhirnya terbukti gagal. Berbagai kesulitan menghadang, karena
ekonomi yang berkembang di Amerika Latin justru dikuasai oleh ekonomi
kapitalis yang membonceng dalam gagasan pembangunanisme melalui
perubahan sturktural.
Meskipun demikian, wacana kaum miskin,
tampaknya tetap menguat, sehingga dalam konsep hermeneutika teologi
pembebasan, Hugo Assmann memunculkan ide mengenai hak istimewa
epistemologis kaum miskin. Pada kehidupan sosial yang mayoritas kaum
miskin atau Katolik Roma, teologi pembebasan menggunakan konsep
ketidakmanusiawian manusia terhadap manusia.
Tantangan lain yang dihadapi para teolog pembebasan, bagaimana mampu
merumuskan konsep persekutuan dengan Allah didasarkan merupakan
interkasi dengan kaum miskin dan kelas tertindas, melihat realitas
dengan penderitaan dan berbagi nasib dengan kaum miskin.
Berbagai jargon gerakan semacam ini, membawa satu
konsekuensi kritik serius mengenai doktrin ortodoks Allah yang berada
dalam bayang-bayang pemikiran Yunani kuno tentang Allah, yang tidak saja
bisa dimanipulasi untuk mendukung ekonomi kapitalistik, melainkan juga
mengabaikan transendensi Allah dengan mengeluarkan Allah dari kehidupan
keseharian manusia dan jauh dari sejarah manusia. Gagasan yang akhirnya
menjadikan Allah sebagai entitas ‘di luar sana’ dan ‘di atas sana.’
Gagasan teologi ortodoks yang telah menjadikan kaum miskin menjadi
pasif, pasrah dalam menghadapi ketidakadilan. Teologi pembebasan
mengenalkan cara pandang baru, kesadaran baru, Allah bisa ditemukan
dalam perjalanan sejarah manusia. Berdiri di hadapan kita, di perbatasan
masa depan sejarah. Penderitaan dan rasa sakit dijadikan sebagai
kekuatan untuk mengetahui Tuhan, ditemukan pada salib yang tertindas
bukan dalam kecantikan, dan kekuasaan.
Daftar panjang perubahan makna berbagai doktrin religius lama
dikembangkan, keselamatan sebagai proses pembebasan dari berbagai
situasi penindasan dan ketidakadilan, merangkul seluruh proses
humanisasi. Dosa dimaknai sebagai kekejaman manusia terhadap
manusia. Kelompok revolusioner di Kuba bahkan lebih radikal dengan
mendefinisikan ulang makna ‘ibadah’ sebagai kepentingan untuk
meningkatkan produktivitas nasional, kemajuan teknologi, dan pertahanan
revolusi. Allah otentik adalah revolusi.
Pertanyaan dari Michel Novak sangat menarik,
setelah berpanjang lebar wacana yang dikembangkan, sesungguhnya teologi
pembebasan sedang berbicara mengenai ketidakadilan atau partisipasi akar
rumput. Jika jawabannya pada membangun partisipasi akar rumput,
pembangunan dari bawah, sesungguhnya teologi pembebasan tidak sedang
berjalan ke mana-mana, karena gagasan semacam itu juga berkembang secara
dinamis dalam sistem ekonomi kapitalis yang menindas.
Apalagi manakala para teolog mendukung gagasan
perubahan struktural yang sesungguhnya merupakan agenda pokok dari
kelahiran baru kapitalisme internasional. Keharusan yang mesti dilakukan
negara-negara terbelakang dalam menerima hutang luar negeri. Perubahan
struktural merupakan bagian agenda untuk menyelematkan investasi
kapitalis melalui hutang-hutang luar negeri yang dijalankan melalui
mekanisme Bank Dunia dan IMF.
Persoalannya hutang luar negeri menjadi
mendasar dan serius untuk direspons, karena masalah akut dari
negara-negara Amerika Latin adalah bergulat dengan beban yang terus
meningkat dari hutang luar negeri.
Tantangannya, apakah teologi pembebasan mampu
menjawab tantangan hutang luar negeri ini dengan memberikan
tawaran-tawaran konseptual mengenai pembangunan ekonomi? Sebuah
pertanyaan yang tampaknya terus menggantung dan tidak mendapatkan
jawaban yang pasti dalam pembahasan mengenai teologi pembebasan dalam
dokumen ini, kecuali cita-cita yang belum teruji mengenai politik
ekonomi kombinatif dari statisme dan populisme.
Kehadiran ECLA (Komisi Ekonomi PBB untuk
Amreika Latin), merupakan tantangan serius karena komisi ini memang
dengan jelas membawa gagasan ekonomi kapitalisme masuk secara langsung
ke Amerika Latin. Model khas ekonomi kapitalistik yang juga sudah
dilakukan sebelumnya ke seluruh dunia, terutama pada tahun 1930-an,
1940-an, dan 1950-an. Sebuah proses pelembagaan marginalisasi akan
segera bergerak dan menyebar, dan mengakibatkan kaum miskin akan semakin
masuk dalam ketertindasan yang makin dalam.
Inilah taktik yang dikembangkan
kapitalis-liberalis yang tidak diperhitungkan para teolog pembebasan,
gerusan indutrialisme pengusaha industri nasional baru, dan menguatnya
industrialisme perkotaan, yang membentuk pandangan baru mengenai nilai,
tradisi yang masuk akal, dan leksikon pembangunan . Denis Goulet
menyebutnya sebagai dua interpretasi yang saling bertentangan dari
realitas sejarah, pertempuran prinsip dari dua organisasi sosial.
Kalangan gerakan pembebasan terus mendengungkan dan
menemukan ekspresinya dengan ‘aksi budaya untuk kebebasan, manusia baru
dan dunia baru, dan penyadaran. Sementara pikiran developmentalisme
kapitalis mendengungkan modernisasi sosial, reformasi politik,
pertumbuhan ekonomi.
Agenda ke depan, teolog pembebasan tampaknya harus
menghilangkan tengara Novak mengenai situasi yang tidak mendukung pada
perubahan dan transformasi sosial. Sebagai kasus di Amerika Latin, tidak
memiliki sistem, etos, kebajikan, dan lembaga yang diperlukan untuk
menghilangkan atau meminimalkan kemiskinan. Budaya Katolik Latin gagal
menanamkan etika kerja dan kreativitas dan di sisi yang lain di Amerika
Latin memang secara ekstrem kekuatan ekonomi dan politik terkonsentrasi
hanya di tangan beberapa orang.
Karenanya, gerakan pembebasan di Amerika Latin
untuk tidak menyalahkan Amerika Serikat dengan kemarahan, melainkan
belajar dari Amerika Serikat dan Eropa Barat tentang sistem, etos,
kebijakan, dan lembaga yang membuat mereka sukses. Selain melihat
keberhasilan negara industri baru di Timur Jauh, seperti Taiwan dan
Korea Selatan atau macan kecil di Asia, Singapura.
Akh…, sebuah nasehat amat klasik: “ingin menaklukan musuh, maka pelajarilah musuhmu itu sendiri.”
Tetapi bagi saya, teologi pembebasan mungkin akan
menemukan pijakannya, manakala kalangan gereja pada kekinian, tidak
bersibuk ria untuk juga mengakumulasi kapital untuk
kepentingan-kepentingan lembaga gereja itu sendiri. Tidak lagi
berkepentingan untuk memperbanyak jemaat, sebagai jalan menuju surga,
melainkan secara serius menjalankan tafsir ulang terhadap berbagai
doktrin Kristen yang telah dilakukan para penggagas teologi pembebasan.