24 Sep 2012

Memabaca Teologi Pembebasan di Tengah Kapitalisme Global


Memabaca Teologi Pembebasan di Tengah Kapitalisme Global

Amerika Latin disebut dalam situasi yang tidak manusiawi, karena beberapa alasan; ketidakamanan, kemiskinan, kelaparan, ketidaktersediaan perumahan, angka kematian bayi tinggi, kebodohan, pengangguran tinggi, buta huruf, dan proses alienasi dari proses pendidikan yang diimpor tanpa filter dari nalar Eropa dan Amerika. Kesadaran menjadi kelas yang tertindas sangat kecil, terlebih dalam kekuasaan politik diktator militeristik.
Pelembagaan kekerasan menjadi sebuah fenomena serius, pengabaian terhadap kaum miskin, institusi pengadilan yang tak pernah mendengarkan suara kelompok miskin, hina-dina, dan anak-anak yang kurang gizi berada di mana-mana.  Secara kultural juga berkembang egoisme, individualistik, melemahnya rasa sayang, persuadaraan dan solidaritas.
Ketergantungan pembangunan ekonomi terhadap agen-agen kapitalisme, juga menjadi bagian serius yang justru mempurukkan Amerika Latin pada situasi yang amat miskin, hancurnya kebudayaan dan tentu saja bersamaan dengan itu menguatnya segelintir orang yang memiliki akses pada bidang ekonomi.
Pada sisi yang lain, di Amerika Latin juga menguat tradisi pemikiran pro-sosialis, politik, sosial dan keagamaan yang kesemuanya mengalami proses transformasi yang amat cepat dan mengakibatkan sebuah situasi gagap budaya yang luar biasa.
Perubahan struktural dibayangkan oleh para penguasa sebagai keputusan yang bisa menyelesaikan berbagai persoalan sosial, terutama agenda pembangunan, dengan menggandeng lembaga-lembaga moneter internasionla, seperti Bank Dunia dan IMF. Tetapi sebagai kondisi kekinian, kebijakan perubahan struktural ini—yang memang menjadi persyaratan utama untuk bisa mendapatkan pinjaman—memang hanya menguntungkan segelintir orang: para pelaku industri nasional, dan tentu saja investor asing ketika mereka menginvestasikan dananya pada bidang-bidang tertentu yang mendapatkan manfaat dari pembatasan tarif dan perlindungan pasar nasional. Kelompok lain yang mendapatkan keuntungan dari kebijakan ini, adalah kelas menengah perkotaan, seperti para kaum profesional kelas menengah.
Akhirnya, Amerika Latin memang mengahadapi persoalan serius terkait dengan agenda-agenda pembangunannya, seperti terbatasnya modal kapital, perkembangan teknologi dan nilai-nilai tradisional. Padahal perubahan struktral ekonomi, mensyaratkan adanya ketersediaan modal yang cukup, hilangnya nilai tradisional dan menemukan berbagai cara untuk meningkatkan produktivitas.
Pencarian Jawaban
Pertanyaan serius lantas muncul, di mana Tuhan, pada situasi tidak manusiawi, situasi dosa, padahal dalam firmanNya jelas-jelas dinyatakan Ia memihak kepada kaum tertindas. Pengalaman negatif mengenai absennya Tuhan dalam kehidupan umat. Gugatan teologis semacam ini yang tampaknya mendorong sebagian kecil para bishop mulai mempertanyakan kembali konsep teologi mereka yang tak mampu melakukan perbaikan-perbaikan serius pada level kehidupan rakyat kebanyakan.
Jawabannya, gagasan mengenai teologi pembebasan. Gustavo Gutierrez, seorang imam Katolik Roma Peru, diakui sebagai orang pertama yang menggunakan istilah ini melalui buku Theology of Liberation. Tokoh-tokoh lainnya, seperti Leonardo Boff dari Brazil dan Juan Luis Segundo Uruguay. Pada awalnya, teologi pembebasan sebenarnya tak lebih dari sebuah kajian di kalangan Katolik Latin Amerika yang berpandangan Injil Kristus menuntut gereja sudah seharusnya membebaskan rakyat dunia dari kemiskinan dan penindasan.
Meskipun gerakan teologi pembebasan mendapatkan inspirasi awalnya dari Konsili Vatikan Kedua dan ensiklik kepausan 1967, dan mendapat dukungan dari para uskup Amerika Latin, terutama dengan diadopsinya pada konferensi 1968 di Medelin, Kolombia. Meskipun begitu, tetap menguat juga keberatan pihak Gereja Katolik Roma atas penggunaan gagasan Marx, dukungan terhadap kelompok revolusioner dan kritik terhadap lembaga gereja tradisional. Misalnya, kecaman yang dikeluarkan Boff pada tahun 1985 kepada otoritas Vatikan. Gerakan ini tampaknya tetap mendapatkan dukungan dengan dimasukkannya teologi pembebasan ke dalam 1986 meski dalam bentuk teologi pembebasan yang lebih moderat.
Pada sisi gagasan, teologi pembebasan dituding sebagai bentuk neo-marksian, yang sebelumnya, telah memberikan kritik amat tajam terhadap agama sebagai institusi yang menjadikan masyarakat tenggelam dalam budaya bisu. Tudingan ini tampaknya sulit untuk ditampik, karena kentara sekali, para teologian pembebasan dengan dukungan para analis sosial kritis memang mencoba melakukan instalasi ulang berbagai gagasan dari Marx meskipun, tidak langsung, melainkan gagasan yang sudah dikembangkan ulang oleh orang-orang seperti Gramsci di Italia atau MariƔtegui di Peru.
Mendapatkan kritik keras, terkait dengan cara pandang Marx terhadap agama, para teolog pembebasan menyatakan analisis Marxis penting digunakan untuk melihat gerakan perjuangan kelas dan menganalisis akar eksploitasi dan dominasi dalam masyarakat dengan prinsip antikebencian dan antikekerasan.
Penyebaran wacana mengenai gerakan Marxis di Amerika Latin dan kelompok-kelompok seperti Sandinista, memiliki cara pandang, kebijakan dan tindakan yang berbeda dengan yang dilakukan kelompok Marxis di negara lain, memiliki kepentingan untuk menghindari tekanan penguasa. Sebab, pemerintah sayap kanan memberikan cap Marxis atau komunis subversif untuk menahan gerakan reformasi yang dilakukan. Pengalaman yang sama penekanan menggunakan kata Marxis, juga terjadi di beberapa negara, seperti El Salvador, Taiwan dan tentu saja di Indonesia. Dan bahkan di Indonesia, masih terasa sampai saat ini trauma serius berkaitan dengan kata ‘komunis’ yang selalu dinisbahkan pada pemikiran-pemikiran Marxis.
Pembumian Gagasan
Membaca latar munculnya gagasan teologi pembebasan secara singkat dan mungkin juga sangat beresiko terjadinya simplifikasi, mengarahkan pada kesimpulan; teologi pembebasan sebagai sebuah gerakan untuk menyatukan teologi dan keprihatinan sosial-politik. Sebuah gagasan yang pada akhirnya mampu menyatukan berbagai gerakan sosial, dan mampu mengekspresikan gerakan yang dilakukan kulit hitam, feminis, gerakan di Asia, Hispanik Amerika, dan penduduk asli Amerika.
Keprihatinan sosial, telah membawa para teolog pembebasan pada satu kesimpulan, Amerika Latin telah menjadi korban bangkitnya kolonialisme, imperialisme global, dan perusahaan-perusahaan multinasional (MNC). Konsep developmentalisme menempatkan negara-negara terbelakang yang sering disebut juga Dunia Ketiga memasuki kondisi ketergantungan serius, terhadap berbagai keputusan ekonomi yang diputuskan dan dikendalikan di New York, Houston dan London. Bahkan untuk melanggengkan eksploitasi ekonomi, negara kapitalis kuat, seperti Amerika Serikat, memberikan  dukungan militer dan ekonomi terhadap penguasa negara-negara berkembang yang bersedia untuk melayani kepentingan negara kapitalis, dan mendukung status quo ekonomi.
Pembumian gagasan teologi pembebasan menuntut dilakukan redefinisi mengenai pemahaman teologi. Gustavo Gutierrez memahami teologi sebagai bentuk reflektif kritis mengenai praksis historis. Teologi bukanlah sistem kebenaran yang abadi, melainkan terlibat dalam proses berulang-ulang dari sistematisasi dan apologetik argumentatif.
Teologi merupakan proses dinamis, bukan konsep stagnan dan mapan, berputas dan berkelanjutan dengan melibatkan perkembangan gagasan-gagasan kontemporer, adalah (epistemologi), manusia (antropologi), dan sejarah (analisis sosial). Praxis dipahami sebagai melampaui dari sekedar penerapan kebenaran teologis berkaitan dengan situasi tertentu.
Dalam konteks Amerika Latin, gagasan ini berarti sedang menunnukkan pada proses gerakan yang membawa kebenaran teologis keluar dari situasi sejarah-sejarah kerasulan, kenabian, untuk mendukung adanya partisipasi manusia dalam merumuskan kebenaran berkaitan dengan perjuangan kelas di Amerika Latin menuju masyarakat dengan kesadaran baru dan tentu saja mnasyarakat sosialis baru.
Teolog pembebasan bukan mewujud sebagai seorang teoritisi tetapi manusia yang terlibat, intelektual terlibat, sepemahaman dengan intelektual organis yang melakukan berbagai gerakan untuk melakukan transformasi sosial. Untuk inilah, para teolog tampaknya meminjam analisis Marx untuk melihat terjadinya budaya penindas dan penindasan, mengidentifikasi ketidakadilan dan eksploitasi dalam konteks sejarah. Kelebihannya, kalau Marxisme hanya berlandaskan pada gagasan materialisme sejarah, teologi pembebasan beralih ke iman Kristen sebagai media untuk melakukan pembebasan. DI sinilah, teologi pembebasan menunjukkan kegagalan Marx dalam melihat kekuatan, emosi simbolik, dan sosiologis gereja yang bisa digunakan dalam perjuangan untuk keadilan.
Pembebasan manusia dalam konteks ini, diandaikan bisa dimulai dengan pembenahan infrastruktur ekonomi, meskipun gagasan ini pada akhirnya terbukti gagal. Berbagai kesulitan menghadang, karena ekonomi yang berkembang di Amerika Latin justru dikuasai oleh ekonomi kapitalis yang membonceng dalam gagasan pembangunanisme melalui perubahan sturktural.
Meskipun demikian, wacana kaum miskin, tampaknya tetap menguat, sehingga dalam konsep hermeneutika teologi pembebasan, Hugo Assmann memunculkan ide mengenai hak istimewa epistemologis kaum miskin. Pada kehidupan sosial yang mayoritas kaum miskin atau Katolik Roma, teologi pembebasan menggunakan konsep ketidakmanusiawian manusia terhadap manusia.
Tantangan lain yang dihadapi para teolog pembebasan, bagaimana mampu merumuskan konsep persekutuan dengan Allah didasarkan merupakan interkasi dengan kaum miskin dan kelas tertindas, melihat realitas dengan penderitaan dan berbagi nasib dengan kaum miskin.
Berbagai jargon gerakan semacam ini, membawa satu konsekuensi kritik serius mengenai doktrin ortodoks Allah yang berada dalam bayang-bayang pemikiran Yunani kuno tentang Allah, yang tidak saja bisa dimanipulasi untuk mendukung ekonomi kapitalistik, melainkan juga mengabaikan transendensi Allah dengan mengeluarkan Allah dari kehidupan keseharian manusia dan jauh dari sejarah manusia. Gagasan yang akhirnya menjadikan Allah sebagai entitas ‘di luar sana’ dan ‘di atas sana.’ Gagasan teologi ortodoks yang telah menjadikan kaum miskin menjadi pasif, pasrah dalam menghadapi ketidakadilan. Teologi pembebasan mengenalkan cara pandang baru, kesadaran baru, Allah bisa ditemukan dalam perjalanan sejarah manusia. Berdiri di hadapan kita, di perbatasan masa depan sejarah. Penderitaan dan rasa sakit dijadikan sebagai kekuatan untuk mengetahui Tuhan, ditemukan pada salib yang tertindas bukan dalam kecantikan, dan kekuasaan.
Daftar panjang perubahan makna berbagai doktrin religius lama dikembangkan, keselamatan sebagai proses pembebasan dari berbagai situasi penindasan dan ketidakadilan, merangkul seluruh proses humanisasi. Dosa dimaknai sebagai kekejaman manusia terhadap manusia. Kelompok revolusioner di Kuba bahkan lebih radikal dengan mendefinisikan ulang makna ‘ibadah’ sebagai kepentingan untuk meningkatkan produktivitas nasional, kemajuan teknologi, dan pertahanan revolusi. Allah otentik adalah revolusi.
Pertanyaan dari Michel Novak sangat menarik, setelah berpanjang lebar wacana yang dikembangkan, sesungguhnya teologi pembebasan sedang berbicara mengenai ketidakadilan atau partisipasi akar rumput. Jika jawabannya pada membangun partisipasi akar rumput, pembangunan dari bawah, sesungguhnya teologi pembebasan tidak sedang berjalan ke mana-mana, karena gagasan semacam itu juga berkembang secara dinamis dalam sistem ekonomi kapitalis yang menindas.
Apalagi manakala para teolog  mendukung gagasan perubahan struktural yang sesungguhnya merupakan agenda pokok dari kelahiran baru kapitalisme internasional. Keharusan yang mesti dilakukan negara-negara terbelakang dalam menerima hutang luar negeri. Perubahan struktural merupakan bagian agenda untuk menyelematkan investasi kapitalis melalui hutang-hutang luar negeri yang dijalankan melalui mekanisme Bank Dunia dan IMF.
Persoalannya hutang luar negeri menjadi mendasar dan serius untuk direspons, karena masalah akut dari negara-negara Amerika Latin adalah bergulat dengan beban yang terus meningkat dari hutang luar negeri.
Tantangannya, apakah teologi pembebasan mampu menjawab tantangan hutang luar negeri ini dengan memberikan tawaran-tawaran konseptual mengenai pembangunan ekonomi? Sebuah pertanyaan yang tampaknya terus menggantung dan tidak mendapatkan jawaban yang pasti dalam pembahasan mengenai teologi pembebasan dalam dokumen ini, kecuali cita-cita yang belum teruji mengenai politik ekonomi kombinatif dari statisme dan populisme.
Kehadiran ECLA (Komisi Ekonomi PBB untuk Amreika Latin), merupakan tantangan serius karena komisi ini memang dengan jelas membawa gagasan ekonomi kapitalisme masuk secara langsung ke Amerika Latin. Model khas ekonomi kapitalistik yang juga sudah dilakukan sebelumnya ke seluruh dunia, terutama pada tahun 1930-an, 1940-an, dan 1950-an. Sebuah proses pelembagaan marginalisasi akan segera bergerak dan menyebar, dan mengakibatkan kaum miskin akan semakin masuk dalam ketertindasan yang makin dalam.
Inilah taktik yang dikembangkan kapitalis-liberalis yang tidak diperhitungkan para teolog pembebasan, gerusan indutrialisme pengusaha industri nasional baru, dan menguatnya industrialisme perkotaan, yang membentuk pandangan baru mengenai nilai, tradisi yang masuk akal, dan leksikon pembangunan . Denis Goulet menyebutnya sebagai dua interpretasi yang saling bertentangan dari realitas sejarah, pertempuran prinsip dari dua organisasi sosial.
Kalangan gerakan pembebasan terus mendengungkan dan menemukan ekspresinya dengan ‘aksi budaya untuk kebebasan, manusia baru dan dunia baru, dan penyadaran. Sementara pikiran developmentalisme kapitalis mendengungkan modernisasi sosial, reformasi politik, pertumbuhan ekonomi.
Agenda ke depan, teolog pembebasan tampaknya harus menghilangkan tengara Novak mengenai situasi yang tidak mendukung pada perubahan dan transformasi sosial. Sebagai kasus di Amerika Latin, tidak memiliki sistem, etos, kebajikan, dan lembaga yang diperlukan untuk menghilangkan atau meminimalkan kemiskinan. Budaya Katolik Latin gagal menanamkan etika kerja dan kreativitas dan di sisi yang lain di Amerika Latin memang secara ekstrem kekuatan ekonomi dan politik terkonsentrasi hanya di tangan beberapa orang.
Karenanya, gerakan pembebasan di Amerika Latin untuk tidak menyalahkan Amerika Serikat dengan kemarahan, melainkan belajar dari Amerika Serikat dan Eropa Barat tentang sistem, etos, kebijakan, dan lembaga yang membuat mereka sukses. Selain melihat keberhasilan negara industri baru di Timur Jauh, seperti Taiwan dan Korea Selatan atau macan kecil di Asia, Singapura.
Akh…, sebuah nasehat amat klasik: “ingin menaklukan musuh, maka pelajarilah musuhmu itu sendiri.”
Tetapi bagi saya, teologi pembebasan mungkin akan menemukan pijakannya, manakala kalangan gereja pada kekinian, tidak bersibuk ria untuk juga mengakumulasi kapital untuk kepentingan-kepentingan lembaga gereja itu sendiri. Tidak lagi berkepentingan untuk memperbanyak jemaat, sebagai jalan menuju surga, melainkan secara serius menjalankan tafsir ulang terhadap berbagai doktrin Kristen yang telah dilakukan para penggagas teologi pembebasan.

Teologi Pembebasan Gustavo Gutierrez

Teologi Pembebasan Gustavo Gutierrez


Gustavo Gutierrez terkenal sebagai teolog pembebasan. Pengalaman tinggal bersama orang-orang kecil yang tertindas mendorongnya untuk melakukan kontekstualisasi dalam berteologi. Menurut Gutierrez pendekatan teologi Barat yang dia pelajari tidak dapat diaplikasikan dalam situasi masyarakat di Amerika Latin. Menurut dia, butuh pendekatan khas untuk berteologi dalam situasi yang sangat memprihatinkan di Amerika Latin waktu itu. Namun, teologi pembebasan tidak selalu mendapat dukungan dari pihak Gereja sendiri. Di Amerika Latin sempat terjadi perpecahan antara kelompok yang menyatakan bahwa “Gereja harus netral terhadap pilihan politik” dengan para teolog pembebasan. Perlawanan yang muncul terhadap teologi pembebasan tidak lain menunjukkan betapa Gereja waktu itu berada dalam ketakutan terhadap suatu kekuatan politik yang menindas. Pendapat Gutierrez benar bahwa Gereja dari dulu sampai sekarang banyak berhubungan dan bersahabat dengan mereka yang mengendalikan ekonomi dan politik. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa Gereja berada di pihak golongan penindas. Memang, sekarang kondisinya sudah agak berubah, yakni ketika muncul kelompok pembaharuan dalam Gereja, khususnya para penegak teologi pembebasan. Lantas, bagaimana metode teologi pembebasan yang dianggap sebagai sebuah pendekatan baru dalam berteologi?  

Biografi Singkat Gustavo Gutierres[1]
Gustavo Gutierrez Merino Lahir pada tanggal 8 Juni 1928 di Monserat, sebuah kawasan miskin di Lima, Ibu kota Peru. Ia berasal dari keluarga sederhana yang berdarah Mestizo, keturunan campuran Hispanic (Spanyol) dan Indian. Gutierrez adalah satu-satunya anak laki-laki dari tiga bersaudara. Meskipun ada kesulitan-kesulitan ekonomi, ia tidak mengalami kekurangan cinta dari keluarganya.
Ketika berada di bangku sekolah menengah, Gutierrez diserang penyakit Osteomiletis. Penyakit ini menyebabkan kepincangan permanen pada kakinya. Penyakit ini pulalah yang menuntun dia memilih jurusan farmasi pada Universitas San Marcos, Lima. Tetapi, kemudian ia memutuskan untuk masuk seminari dan belajar filsafat-teologi di Seminari Santiago de Chile.
Pada tahun 1951-1955, ia melakukan tugas belajar pada Universitas Katolik Louvain, Belgia. Ia memperoleh gelar master dalam bidang filsafat dan psikologi dengan tesis Konflik Psikis dalam Freud. Di Louvain, ia bersahabat baik dngan Francois Houtart, yang kelak menjadi teolog sosial garda depan Gereja Katolik. Ia juga bersahabat baik dengan Camilo Torres, yang kelak menjadi Pastor gerilyawan di Amerika Latin. Pada tahun 1955-1959, ia melanjutkan kuliah teologi di Universitas Katolik Lyon, Prancis, dan memperoleh master Teologi dengan tesis Kebebasan Religius. Di Lyon, ia diperkenalkan dengan “la nouvelle theologie”, yakni upaya beberapa pemikir Katolik Prancis menghubungkan secara nyata iman dengan masalah-masalah abad ke-20, di antaranya Henri de Lubac, Jean Daniellou, Yves Congar. Mereka adalah teolog-teolog barat yang cukup berpengaruh dalam pemikiran Gutierrez selain Karl Rahner dan G. von Rad.
Gutierrez sempat belajar teologi di Universitas Katolik Gregoriana, Roma pada tahun 1959-1960. Di Roma pula, ia ditahbiskan imam pada tanggal 6 Januari 1959. Setelah itu pada tahun 1960, ia kembali ke Amerika Latin dan mengajar di Universitas Katolik Lima, Peru. Namun, tugas utama yang dilakukan Gutierrez adalah menjadi pastor yang hidup dan berkarya di antara kaum miskin di Rimac, Lima. Di sini, ia memperoleh landasan dan arah baru dalam pemikiran teologinya.
Dalam keterlibatannya di tengah-tengah kaum miskin, Gutierrez merasakan bahwa perjalanan studi di Eropa selama ini tidak memberikan dasar kokoh baginya untuk memahami dan menghayati situasi Amerika Latin. Ia menemukan ketidakcocokkan antara teologi Barat yang dipelajari dengan kenyataan konkret yang ada. Karena itu, ia mulai mempelajari dengan serius sejarah bangsanya sendiri. Ia membaca lagi Injil dan Teologi dalam konteks Amerika Latin, yakni situasi kaum miskin dan tertindas.
Hal ini memperkenalkan ia dengan pemikir-pemikir besar Amerika Latin. Salah satu tokoh yang berpengaruh besar terhadap Gutierrez adalah Bartolome de Las Casas (1474-1566). Las Casas adalah imam Dominikan yang menjadi pembela orang-orang Indian Amerika terhadap penjajahan Spanyol. Gutierrez melihat kesamaan besar antar apa yang ditemukan oleh de Las Casas pada abad ke-16 dan kenyataan  Amerika Latin pada abad ke-20 ini: kenyataan orang-orang mati sebelum waktunya (people died before their time). Penjajahan Spanyol mengakibatkan begitu banyak orang Indian mati secara prematur dan tidak adil. Karena itu, evangelisasi gereja di Amerika Latin menurut de Las Casas bukan terutama menginisasi orang kafir masuk ke dalam kebudayaan Kristiani Barat, tetapi melakukan advokasi terhadap kaum miskin yang tertindas
Selain de Las Casas, pemikir Amerika Latin yang memberikan banyak inspirasi kepada Gutierrez adalah Jose Carlos Mariategui (1895-1930). Ia adalah seorang pemikir marxis dari peru. Menurut Michael Candelaria, Mariategui memberikan tiga sumbangan penting bagi pemikiran Gutierrez. Tokoh lainnya adalah Jose Maria Arguedas (1911-1969). Ia adalah seorang antropolog, penyair dan Novelis. Arguedas sungguh menyadari situasi konflik sosial di Peru antara golongan kaya dan golongan miskin. Hal ini yang mempertalikan mereka secara pribadi, yakni dalam keprihatinan dasar yang sama untuk memahami dan bersuara bagi kaum miskin
Pada tahun 1971, Gutierrez menerbitkan karya monumentalnya A Theology of Liberation (terjemahan dalam bahasa Inggris tahun 1973). Sebuah buku yang menguraikan secara sistematis dan komprehensif refleksi teologis Gutierrez dalam konfrontasi dengan dunia kaum miskin di Amerika Latin yang ia hidupi selama ini. Dalam tahun-tahun berikutnya terbit beberapa buku lainnya dari Gutierrez yang bertolak dari keprihatinan dasar yang sama, yaitu bagaimana menyuarakan jeritan kaum miskin Amerika Latin dalam bahasa Teologis.

Sejarah Munculnya Teologi Pembebasan
Permulaan teologi pembebasan ditetapkan Erique Dussel pada tahun 1564 ketika Bartolome de Las Casas, sebagai cikal bakal teologi pembebasan, mengatakan bahwa dia merasa dipilih Tuhan menjadi pelayan untuk mengangkat martabat orang-orang Indian yang telah dirampas kebebasannya dengan tidak adil. Dussel juga memberi nama “teologi kenabian” pada teologi dari zaman de Las Casas tersebut yang memperjuangkan hak hidup orang Indian.[2] Cikal bakal teologi pembebasan tersebut tenggelam pada masa kolonialisasi (1553-1808). Pada masa ini, “teologi Kerajaan Kristiani” mulai memberi pengaruhnya. Teologi tersebut bercirikan “menutupi dan menyembunyikan praktik ketidakadilan.” Tahap perkembangan selanjutnya adalah “teologi emansipasi politik” (1808-1831) yang timbul sebelum kemerdekaan dan memperjuangkan persamaan dalam politik dan kehidupan kemasyarakatan. Kemudian teologi tersebut digantikan oleh “teologi konservatif” yang mempertahankan neokolonial. “Teologi Kerajaan Kristiani Baru” (1930-1962) muncul kembali dengan memusatkan perhatian pada keprihatinan sosial. Teologi pada masa ini masih menggunakan cara berteologi rasioanilistis spekulatif sebagaimana teologi klasik barat. Munculnya teologi tersebut ditandai dengan timbulnya gerakan sosial Prancis dan Amerika Latin, pusat studi sosial Centro Belarmino di Santiago, terbentuknya Konferensi para Uskup Amerika Latin (CELAM), dan pembaharuan studi Kitab Suci di mana-mana.
Bagi Segundo dan Dussel, tahap perkembangan teologi pembebasan selanjutnya diperkirakan kurang lebih “sebelum gelombang pertama Konsili Vatikan II” (1962). Sedangkan, Vidales mengatakan bahwa pembentukan refleksi teologi pembebasan ditempatkan pada tahun 1965, tahun terbitnya konstitusi pastoral Gaudium et Spes.[3] Pada tahap ini masih dibagi lagi menjadi tiga bagian perkembangan. Pertama, berlangsung dari tahun 1962 sampai konferensi para uskup Amerika Latin di Medellin, tahun 1968. Pada kurung waktu ini teologi pembebasan masih mempunyai ciri tinjauan kemasyarakatan yang dipengaruhi oleh aliran ilmu sosial, “pertumbuhan ekonomi” atau “pembangunan” (development).
Kedua, berlangsung dari tahun 1968 sampai tahun 1972. Pada masa ini refleksi teologi pembebasan mengalami pembakuan. Konferensi dan simposium mengenai teologi pembebasan dalam kurun waktu ini sudah menjadi umum di Amerika Latin. Misalnya, simposium internasional di Bogota, Colombia, tanggal 2 sampai 7 Maret 1970; pertemuan para ahli Kitab Suci yang membahas tema “Eksodus dan Pembebasan” di Buenos Aires, Argentina; dan lain sebagainya. Menjadi semakin tersebar luas dan umum ketika terbit buku A Theology of Liberation dari Gustavo Gutierrez, seorang Pastor Peru, pada tahun 1972. Praksis revolusioner diakui sebagai kerangka, peta kegiatan masyarakat, yang menelurkan tindakan-tindakan refleksi teologi.
Ketiga, pada waktu “penjeblosan ke dalam penjara” dan “pembuangan” oleh rezim militer di kebanyakan negara-negara Amerika Latin. Kemudian, teologi pembebasan menyebar ke Dunia Ketiga lainnya yakni Afrika dan Asia. Hal ini salah satunya disebabkan oleh keadaan keamanan di Amerika Latin yang tidak kondusif. Cara berteologi Dunia Ketiga tersebut memiliki dua ciri pokok:[4]
  1. Menginterpretasi kehendak Tuhan untuk masyarakat Dunia Ketiga secara bermutu, maksudnya dengan menggali akar “ke Dunia Ketiga-an (the Third Worldness)”. Dalam berteologi orang harus membuat analisis sosio-ekonomi, politik, dan budaya Dunia Ketiga.
  2. Berteologi di Dunia Ketiga menuntut prasyarat yang berupa komitmen dan keterlibatan pelaku teologi dalam perjuangan dan hidup rakyat bagian Dunia Ketiga tersebut.
Metode Teologi Pembebasan
Teologi pembebasan adalah sebuah gebrakan baru dalam teologi. Gebrakan itu pertama-tama bukan terletak pada obyek kajian dan isi melainkan pada metodologinya, pada cara berteologi. Cara berteologinya adalah transformatif, bertolak dari praksis atau iman yang dialami dalam sejarah tertentu. Cara demikian berbeda dengan metode berteologi di Barat (Eropa dan Amerika Utara). Metode teologi barat, atau teologi tradisional, atau teologi dominan, bertolak dari teori, dari iman yang diajarkan dan dipikirkan. Oleh karena itu, seringkali kritik atas teologi pembebasan datang dari tradisi teologi barat. Menurut Hans Urs von Balthasar, teologi pembebasan bukan asli berasal dari Amerika Latin, melainkan masih menjadi bagian dari teologi Kerajaan Allah.[5]
Antara teologi barat dan teologi pembebasan terdapat perbedaan-perbedaan mendasar terutama dalam hal metodologi, pelaku kegiatan berteologi, analisis, kemasyarakatannya, dan locus-theologicus-nya. Pelaku teologi pembebasan adalah rakyat yang tertindas sendiri. Para teolog (salah satunya Gutierrez) berperan menyintesiskan kutipan-kutipan yang diedarkan oleh rakyat jelata di banyak umat basis, juga dari kelompok-kelompok studi Kitab Suci dan diskusi-diskusi sosial politik, bahkan dari omongan dan tindakan di perkampungan-perkampungan yang miskin dan kotor. Metodologi teologi pembebasan betolak dari reaksi terhadap sistem masyarakat yang tidak adil. Teologi pembebasan menangani orang yang dianggap bukan orang lagi (non person). Locus theologicus teologi pembebasan adalah orang yang menghayati religiositasnya dalam tantangan konflik kelas di Dunia Ketiga. Dari segi isi dan obyeknya, tidak ada perbedaan dengan teologi Barat. Keduanya berbicara mengenai citra Allah, kedosaan manusia, Kerajaan Allah, kristologi, eklesiologi, eskatologi, dan sebagainya. Perbedaan keduanya terletak dari pendekatan yang dipakai, sebagaimana telah ditulis sebelumnya.
Pendekatan teologi pembebasan yang dipakai tentu merupakan sebuah perubahan yang radikal dalam berteologi. Dalam teologi pembebasan terjadi perubahan yang sangat mendasar mengenai metodologi, yakni berteologi dengan titik pangkal tantangan zaman. Dalam menginterpretasi Injil dan Magisterium, teologi pembebasan dipengaruhi oleh komitmen untuk pembebasan.

Teologi Pembebasan Gutierrez
Bagi Gutierrez ada tiga cara berteologi. Pertama, teologi sebagai sumber hidup rohani. Kedua, teologi sebagai pengetahuan rasional. Ketiga, teologi sebagai refleksi kritis dalam terang Sabda Allah atas praksis hidup orang Kristen. Gutierrez menekankan fungsi yang ketiga, meskipun fungsi ini tidak dapat dipisahkan dari kedua fungsi lainnya. Maka, teologi pembebasan Gutierrez adalah refleksi kritis dalam terang Sabda Allah atas praktis hidup orang Kristen, yang ikut melibatkan diri dalam usaha pembebasan.  Motivasi dasarnya adalah keyakinan bahwa masyarakat yang tidak adil sama sekali tidak sesuai dengan tuntutan injil. Mereka merasa tidak pantas disebut orang Kristen jika tidak ikut berjuang melakukan pembebasan, meskipun kesadaran ini masih dalam taraf intuisi serta meraba-raba. Tugas teologi adalah menunjukkan dengan jelas hubungan antara iman dan perjuangan pembebasan. Namun, bukan berarti bahwa refleksi teologi dimaksudkan sebagai iustifikasi praksis yang sudah ada. Sebaliknya, refleksi teologi, menurut Gutierrez, harus menunjukkan nilai positif dan nilai negatif yang ada dalam praksis pembebasan. Bahkan, dari refleksi teologi diharapkan ada koreksi-koreksi atas kesalahan-kesalahan yang mungkin ada, misalnya ada aspek hidup Kristen yang dilupakan karena orang terlalu tergesa-gesa mengambil tindakan politik. Inilah yang dimaksud dengan teologi sebagai refleksi kritis.[6]
Teologi pembebasan Gutierrez dapat dikatakan bukan hanya bersifat orthodoxy (memantapkan ajaran) dan bukan pula hanya orthopraxis (menuntut dijalankan dalam tindakan mendunia dan menuju Allah), tetapi bersifat heteropraxis yakni orthodoxy sejauh bersumber pada orthopraxis (rumusan ajaran sejauh berpangkal dari pengalaman konkret dan kembali secara baru kepada tindakan yang dituntut oleh rumusan ajaran tersebut).
Gutierrez melihat bahwa orang Kristen yang ikut melibatkan diri dalam usaha pembebasan telah yakin, meski secara samar-samar dan intuitif, keterlibatannya merupakan tuntutan iman. Itu berarti bahwa refleksi teologi atas praksis pembebasan diharapkan memperjelas hubungan antara iman dan praksis pembebasan. Refleksi teologi diharapkan menjawab soal hubungan antara iman dan eksistensi manusia, soal-soal sosial, aksi politik atau hubungan antara Kerajaan Allah dan bangunan dunia. Ringkasnya, bagaimana hubungan antara iman dan penciptaan manusia baru yang merupakan tujuan perjuangan pembebasan. Memahami kembali iman berarti mengajak orang untuk kembali memahami misi Gereja di dunia ini. Maka, dua pertanyaan fundamental yang diajukan Gutierrez adalah Apa arti perjuangan pembebasan bagi iman Kristen? Apa misi Gereja dalam rangka perjuangan pembebasan?
Teologi Pembebasan dan Gereja Indonesia
Apakah kesan kita terhadap Amerika Latin? Penuh dengan pertumpahan darah. Di negara dengan mayoritas penduduk Katolik, terjadi peristiwa-peristiwa yang mengerikan. Kekerasan dan ketidakadilan terjadi di berbagai tempat di negara yang memiliki norma cinta kasih. Banyak peristiwa berdarah yang tidak akan saya sebut di sini yang terjadi di Amerika Latin. Pembantaian menimpa banyak pastor, suster, dan masyarakat sipil yang dianggap sebagai musuh kepentingan kapitalis Amerika Serikat dan birokrat-militer beserta tuan tanah setempat.
Praksis mereka adalah praksis untuk pembebasan manusia. Bukan saja pembebasan dari kendala sosial, ekonomi, dan politik di dunia, melainkan pembebasan yang utuh dan menyeluruh sebagaimana manusia dicintai Tuhan Allah untuk berpartisipasi dalam citra-Nya. Bagi Gutierrez, “pembebasa” bukan saja sebuah proses, melainkan juga sebuah kerangka berbagai tataran arti yang saling bertautan:
  1. Pembebasan ekonomi, sosial, dan politik
  2. Pembebasan manusiawi, yang menciptakan manusia baru dalam masyarakat solidaritas yang baru
  3. Pembebasan dari dosa dan masuk dalam persekutuan dengan Tuhan Allah dan semua manusia
Dari refleksi kritis Gutierrez, jelas bahwa yang diperjuangkan oleh para teolog pembebasan Amerika Latin bukan saja kepentingan dunia semata, melainkan pembebasan dalam arti sebagai peziarahan seluruh manusia dalam segala keutuhan dan kedalaman hidupnya serta sekaligus pembebasan dalam arti penyelamatan manusia dari dosa.
Penggunaan kekerasan subversif, bergabung dengan kelompok gerilya, memanggul senjata simbol kekerasan, terpaksa dipakai karena tidak tersedia alternatif lain lagi. Pemerintah dan aparat militer tidak dapat diajak berbicara lagi. Para aktivis dan gerilyawan tidak ada pilihan lagi selain mempertahankan hidup.
Memang pada akhirnya, praksis pembebasan manusia tidak otomatis menjadi keprihatinan di seluruh warga Gereja Katolik, termasuk di Indonesia. Tentu dengan kondisi masyarakat Indonesia saat ini, teologi pembebasan dapat diterapkan untuk Indonesia. Bahkan radikalitas dalam arti melakukan tindakan subversif dengan mengangkat senjata atau dengan kekerasan bisa dipakai untuk melawan pemangku jabatan yang bebal. Kondisi masyarakat Indonesia butuh pembebasan dari segala kesulitan ekonomi, masalah sosial, dan politik. Jerat kapitalisme, kemiskinan, dan ketidakadilan yang ditandai dengan pejabat yang korup, dan kurangnya tanggung jawab terhadap lingkungan dari para kapitalis yang menyengsarakan rakyat kecil, menandai bahwa bangsa Indonesia sekarang menuntut adanya revolusi sosial segera. Usaha pembebasan itu menurut Gutierrez harus dilakukan oleh rakyat yang tertindas sendiri agar usaha pembebasan itu otentik dan konkret.[7]